Selasa, 14 September 2010

Apa Kabar Toleransi?

Miris.
Itulah reaksi perdana saya ketika melihat foto ini di kompas.com. Saya pernah dengar juga cerita dari salah satu tempat yang mayoritasnya Kristen di Timor Barat, ketika ada rencana pembangunan masjid di salah satu markas radar untuk pertahanan milik TNI juga sempat diprotes warga setempat. Di AS, rencana pembangunan masjid di dekat ground zero (bekas gedug WTC) disebut-sebut menjadi dasar aksi pendeta Terry Jones dari Florida dalam rencana membakar Al Quran tepat tanggal 11 September. Meski akhirnya diurungkan karena menuai banyak reaksi keras dari seluruh dunia. Sama halnya dengan yang pernah terjadi pada sama saudara kita pemeluk aliran Ahmadiyah di beberapa tempat seperti di Kuningan dan NTB yang beberapa kali mendapat perlakuan kasar dari oknum-oknum yang selalu saja gagal teridentifikasi pihak keamanan kita. Kita punya banyak sekali catatan sejarah kelam terkait dengan ketidakbebasan beragama. Kasus rangkaian pemboman gereja di malam Natal tahun 2000 hingga kasus Monas Juli 2008. Semua terulang tanpa ada tindakan nyata untuk mencegah itu semua. Peraturan pemerintah seperti SKB 3 Menteri, nyatanya bukan solusi tapi bumerang untuk menambah rentetan masalah sejenis terjadi. Kita punya Pancasila dan UUD 45, hingga kini hanya embel-embel semata. Saya kok jadi ingat dengan saudara-saudara saya di NTT, beberapa kelompok masyarakat adat, dengan tradisi dan kepercayaannya tersendiri, misalnya Marapu di Sumba atau Boti di Timor, hingga kini keberadaanya tidak jelas. KTP hanya mengakui 6 jenis agama dan kepercayaan mereka sama sekali tidak terakomodasi. Lantas mereka milik siapa? dilindungi siapa? Ahh...
****
Sayang sekali Bangsa yang besar ini, belum mampu menempatkan keragaman sebagai kekuatan, bukannya sumber masalah. Hari ini sesama masyarakat kita masih bermusuhan karena 'simbol'nya berbeda, sedangkan kata teman saya yang kuliah di Jerman, justru simbol-simbol keagamaan cenderung dihindari disana. Karena hari ini, orang Jerman berbicara kemajuan, kerjasama sebagai sebuah potensi besar dalam pembangunan. Bukannya agama itu gak penting, tapi justru sangat penting untuk dijaga sebagai sebuah privasi dan hak asasi pribadi seseorang. Artinya, mereka sudah sampai pada pemahaman bahwa isu itu sensitif jangan sampai akan mengganggu stabilitas kelompok bersama.

Kembali ke permasalahan kita, memang perlu manajemen total dari yang paling atas, terutama pembenahan dalam kurikulum pendidikan kita, sehingga belajar agama bukan sekedar 'salah-benar' tapi juga 'baik-buruk'. Artinya, implementasi, bahwa sejatinya semua agama mengajarkan kebaikan dan menghindari keburukan. Suatu level yang lebih tinggi ketimbang menghabiskan energi dan berkutat pada 'punya saya yang paling BENAR dan punya dia SALAH, sehingga pantas untuk dibasmi atau dipaksa untuk memilih punya saya yang benar ini.' Jika tahun depan pendidikan anti korupsi akan masuk dalam kurikulum sekolah, kayaknya topik 'toleransi' perlu juga dibahasa lebih dalam dan tidak sebatas teori doang. Disini peran tokoh agama juga sangat penting untuk melusurkan pemahaman masyarakat yang cenderung menganggap yang berbeda itu pasti salah.

Kedua, SKB 3 menteri itu sepertinya diskriminatif sehingga baiknya dihapuskan saja karena sangat menafikan kberagaman yang tertuang dalam UUD 45 dan Pancasila. Artinya ini berlawanan dengan konstitusi (dan bukankah semua masalah bangsa ini terjadi karena selalu berseberangan dengan konstitusi?). Sayangnya hingga kini pak Menteri Agama masih berkilah bahwa SKB itu harus tetap ada dan justru Ahmadiyahnya yang seharusnya dihapus. Sontak, pendapat ini langsung dikritik habis-habisan oleh Pak Frans Magnis Suseno sebagai sebuah tindakan memalukan dari seorang menteri (Kompas, 1/9).
Ketiga, jika membangun mall, cafe atau tempat hiburan saja mudah (indikatornya juga jelas terlihat), kok membangun tempat ibadah aja susah yah? Atau mungkin bagi masyarakat sekitar nilai ekonomisnya yg dipentingkan, misalnya jika di lokasi itu dibangun mall atau tempat hiburan, mungkin perekonomiannya lebih terangkat kali yah ketimbang dibangun tempat ibadah? Dengan membangun tempat yang lebih bernilai ekonomis, mungkin mereka bisa punya pekerjaan misalnya jadi tukang parkir, jualan rokok di pintu masuk, dsb, seperti kenyataan-kenyataan selama ini.
Keempat, saya selalu saja heran dengan statemennya Bapak Presiden tercinta kita, kalo gak responnya yang lamban, pasti isinya juga ngambang. Kayak kasus HKBP Ciketing, meminta rakyat untuk bersama-sama mencari solusi. Nah, lho?! Pemimpin kita sudah nyerah, gak sanggup memimpin atau apa yah? Sudah lihat rakyat bisa saling bunuh-bunuhan karena perbedaan agama kok masih saja meminta solusi dari rakyat? Bukan seharusnya keadilan hukumnya, Pancasila dan UUD 45-nya yang ditegakkan pak?
Kelima, ini lebih gila dan aneh. Terkait kasus Ciketing, menurut polisi pihak HKBP diberi tahu sebelumnya untuk hati-hati karena mungkin akan ada tindakan anarkis lagi. Artinya, polisi tahu. Tapi kok lolos yah? Intelijen di negeri ini apa kabar yah? Kedua, yang lebih gila lagi ungkapan Pak Kapolres Bekasi, yang menyalahkan HKBP karena masih ngeyel padalah sudah diberi tahu lewat surat untuk tidak mengadakan ibadah pada hari tersebut. Lagi-lagi ini soal keseriusan pemerintah lewat polisi untuk bisa bertindak tegas dan adil terhadap siapapun yang berlaku semena-mena di negeri ini. Jika kita sudah mengalami sekian banyak kasus serupa, lantas kita mau mengakui kalau kita belum belajar dari semua ini? Please, rakyat sudah terlalu sering dibiarkan menderita bahkan dibiarkan teradu domba untuk kepentingan politik sekelompok orang. Terus terang saya juga sudah muak pak dengan isu 'mereka itu dipelihara oknum pejabat bla bla...'. Masa negara harus selalu kalah dengan sekelompok pengacau itu?

Keenam, mungkin ini pernyataan yang paling adem di hati saya dari seorang pemimpin besar dunia, Obama. Setelah sekian kali diterpa isu miring terkait kesasihannya sebagai orang Kristen, Obama muncul dengan statmen yang bijak dan cerdas menurut saya, seperti yang dikutip kompas.com dari CNN: 'Saya seorang Kristen karena pilihan. Saya memeluk iman Kristen belakangan, dan itu karena ajaran Yesus Kristus yang berbicara kepada saya tentang kehidupan yang ingin saya lakoni yakni menjadi pelindung bagi saudara dan saudari saya. Memperlakukan orang lain sebagaimana mereka akan memperlakukan saya. Dan saya pikir, juga memahami itu, bahwa Yesus Kristus wafat untuk dosa-dosa saya, berbicara dengan kerendahan hati bahwa kita semua harus berlaku sebagai manusia. Kita juga dapat melihat Tuhan pada sosok orang lain dan melakukan hal terbaik kita untuk membantu mereka menemukan kasih karunia mereka sendiri. Jalan rahmat mereka (warga non-Kristen) adalah salah satu yang kita harus hargai dan hormati sebagaimana keyakinan kita sendiri, dan itulah yang menjadikan negara ini seperti apa adanya saat ini'.
Kalimat terakhir ini yang sangat menggelitik nurani saya, bahwa ketika sikap menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda sudah menjadi sebuah keyakinan pribadi, maka rasanya dunia akan damai. Lagi-lagi, jika dasar iman kita adalah mengargai dan menghormati perbedaan, bukan semata omong belaka, maka itulah arti kita bergama, saya rasa demikian. Karena bagi saya, nilai-nilai seperti itu jauh lebih bermakna ketimbang kalung salib yang saya pakai, jilbab yang saya pakai, atau apapun atributnya (yang tidak serta merta menjadikan saya baik). Berkeyakinan atau beragama lebih dari sekedar simbol-simbol tersebut. salam toleransi

Jogjakarta, 10 Oktober 2010
(sumber gambar: www.kompas.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...