Jumat, 16 Juli 2010

Jalan Panjang Psikoanalisa: dari Freud hingga Uya (emang) Kuya!

Untuk CERAH HATI & Gerakan MUDAers NTT MENULIS!

Sudah beberapa kali saya dengan serius mengamati sebuah acara yg banyak dibalut unsur komedinya, Uya Emang Kuya, di SCTV yang kebetulan juga dibawakan oleh presenter (yg dulunya penyanyi) Uya Kuya. Tentang Uya entah gimana caranya namun yg pasti kini saya sudah melihat suatu tranformasi dalam dirinya dari imej penyanyi menjadi presenter plus pesulap dan pehipnosis atau hipnotis sesuai dengan bahasa khalayak umum.

Disini saya juga belum bisa memastikan secara pasti bahwa teknik-tekni hipnosis yg digunakan Uya adalah benar adanya, buka dibuat-buat, bukan sinetron! Hipnosis yg ilmiah seperti yg jauh-jauh waktu dikenalkan pakar psikoanalisa bernama Freud (meski sejarahnya sebelum Freud sudah ada nama Charcot atau Breuer guru dan teman Freud yg sudah lebih dulu mengenal konsep tersebut, namun sejatinya hanyalah seorang Freud yang mampu memperkaya dunia psikoanalisa itu sesukses hinga kini masih saja dikenang, meski tidak 100% menjadi rujukan wajib para psikolog.

Pada awalnya teknik menghipnosis dipakai untuk mengyembuhkan para penderita histeria dan neurotik, yg sering dituding sebagai tukang sihir atau kerasukan setan. Itu dulu sekitar tahun 1885. Di tahun 2010 kini, saya kok masih saja melihat di banyak daerah para penderita histeria seringnya di pasung, diikat, dll. Hmm, rasanya seorang Charcot dulu masih lebih ‘manusiawi’ dalam memperlalukan penderita histeria ketimbang mamon-mamon kini (baca, manusia modern).

Menurut Freud histeria terjadi akibat proses represi (penekanan) hal-hal yg tidak menyenangkan di bawah sadar manusia, menumpuk dan menjadi kacau balau. Freud kemudian memakai teknik asosiasi bebas untuk membangkitkan hal-hal yg diduga adalah sumber masalah yg selama ini terpendam di alam tak sadar ke alam sadar. Caranya adalah dengan membawa pasien ke kondisi yg serileks mungkin, pada gelombang otak yg paling rendah, berbaring di atas sebuah tempat tidur atau sofa. Hal-hal yang kita represi itu sebenarnya berada pada perbatasan antara alam tak sadar dengan alam prasadar. Dari sanalah Freud kemudian berkomunikasi dengan si pasien, menggali dan terus menggali informasi yg diutarakan pasiennya. Krn berada di alam prasadar-taksadar maka biasanya apa yg diucapkan nampak ‘mengalir’ seadanya seolah tanpa ada yg ingin ditutup-tutupi. Yah namanya juga dibatas tak sadar dan prasadar. Dengan teknik ini Freud bisa mengetahui penyebabnya dengan mengasosiasikan secara bebas setiap simbol-simbol yg dimunculkan dr pasien, juga bisa menyembuhkan hal-hal negatif yg selama ini mungkin sudah terkondensasi/memadat di alam bawah sadar manusia, dan itu sangat mengganggu.
Pada proses laiinya, yg biasa dipakai adalah mengsugesti atau mengisi bawah sadar seseorang dengan hal-hal positif dan ‘menghapus’ hal-hal negatif, ingatan-ingatan buruk yg mungkin sudah kadung nyaman di bawah sadar mansuia. Dan sebagai profesional dengan kode etiknya, Freud sangat memperhatikan privasi pasien-pasiennya.

Lalu apa hubungannya dengan Uya. Di acara Uya emang Kuya, dia memakai teknis hipnosis (meski sekali lagi sy sendiri jg belum bisa memastikan bahwa yg dilakukan Uya itu 100% asli memakai teknik-teknik hipnosis, yah, lagi-lagi krn televisi kini makin banyak rekaanya ketimbang nyatanya). Di sana nampak Uya membawa seseorang yg biasanya dipilih secara random di sebuah lokasi ramai ke sebuah situasi yg membuat peserta tertidur/rileks. Dari mereka kemudian, digalilah informasi-informasi pribadi yg pastinya hanya layak untuk kalangan internal pribadi seseorang, namun namanya di bawah sadar, kita pun bisa kehilangan kontrol untuk tidak bisa memilih omongan kita yg layak atau tidak layak. Di TV kini, semua adalah layak ditonton umum. Privasi dan harga diri mungkin gak penting lagi demi uang dan popularitas. Bisa masuk TV gitu loh, mungkin itu yg ada di benak peserta, ketika dalam tayangan closing crew mengajak peserta untuk menandatangani surat perjanjian bermaterai bahwa tayanngan
tersebut disetujui untuk ditayangkan.



Jangan heran ketika di Uya Emang Kuya, semua orang dengan enteng membuka sisi lain yg terpendam ke depan umum, lantas megijinkan rekamannya ditayangkan di TV. Hari ini, privasi Anda adalah bahan komoditas TV. (Oh my God, saya mungkin jg korbannya menjadi bagian dari komoditas Facebook/Twitter, menelanjangi diri saya seterbukannya demi eksistensi? Hmmm…*mikir*).



Di UEK, bisa jadi mereka lega krn akhirnya bisa ‘curhat’ hal-hal yg terpendam. Mereka mungkin juga bisa berantem atau malu dengan orang terdekatnya krn ‘curhatan’ itu. Semua bisa saja terjadi. Tapi apakah itu solusi yg terbaik? Jawabannya kembali ke masing-masing. Ini soal privasi vs popularitas, kawan. Manusia mana sih yg gak mau eksis???


Jogja, 15 Juli 2010
sumber gambar: Freud www.mholowchak.net
Uya: www.rujakmanis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...