Sabtu, 12 Juni 2010

Punishment ke Anak Boleh, Asal?

Oleh: Christian Senda untuk ANAK PRIMA

Dalam sebuah sesi konseling, seorang ibu bercerita kepada saya dan psikolog saya soal perbedaan persepsi dan cara dalam memberikan hukuman (punishment) ke anak antara si ibu dengan bapak. Ibu lebih cederung untuk bicara baik-baik dengan anak, atau hukumannya boleh deh cuek ke anak tapi tidak seperti yang bapak lakukan, yang kadang mungkin ingin agar si anak kapok atau sadar kalau tindakannya salah, dengan memberikan punishment yang menurut ibu cukup keras untuk diberikan ke anak-anak. Si ibu merasa kesulitan untuk sama-sama meluruskan perbedaan cara penanganan anak ini dengan bapak.

*******

Saya yakin semua orang tua pasti menginkan hal-hal yang terbaik buat anak-anaknya. Ortu punya gambaran masing-masing atas apa yang baik dan tidak baik, cocok dan tidak cocok bagi anak-anak mereka. Namun kadang dalam aplikasinya mungkin saja ada cara yang keliru. Meski demikian saya yakin juga kalau ada jauh lebih banyak cara-cara yang dilakukan ortu itu memberikan dampak positif bagi anak-anak. Namun bagaimana dengan yang namanya memberikan hukuman (punishment) kepada anak?

Ada berbagai macam punishment yang dimodifkasi dan disesuaikan dengan kondisi anak. Dunia psikologi mengenal hukuman, namun tidak mengenal hukuman secara tunggal tapi wajib disertai juga dengan sisi lainnya yakni hadiah/reward/reinforcement. Misalnya ada namanya varian namanya time out, selama beberapa menit, anak yang berbuat salah kita cuekin atau kita sisihkan dari sebuah aktivitas (punishment) namun setelah masa time out berakhir kita perlu juga memeluk, mengajak ngobrol dari hati ke hati, membuat kesepatakan/aturan main baru dan membolehkannya bermain lagi (reward).

Sering punishment dengan dicuekin anak namun dengan posisi kita berada di dekat anak jauh lebih sehat ketimbang dengan bicara keras atau mengunci anak di dalam kamar lalu kita meninggalkannya melewati ‘masa kritis’ sendirian (sedih, nangis, meraung-meraung, sendirian di dalam kamar). Karena kadang punishment dari kita mungkin maksudnya baik namun cara yang kita pakai bisa jadi membuat anak merasa ditolak/tidak dicintai orang tuanya atas kesalahan yang ia buat. Mungkin kesalahannya sepele tapi karena reaksi kita berlebihan/tidak pas, malah akan melukai hati anak.

Ada cara sederhana untuk memberikan punishment ke anak tanpa melukai hatinya. Biasanya sesaat sesudah melakukan sebuah kesalahan anak biasanya akan stress, merasa bingung atau merasa bersalah. Ini disebut masa krisisnya mereka. So, hindari dulu pertanyaan-pertanyaan yang bersifat interogatif dan menekan (kenapa itu, kenapa bisa begitu? Kamu salah! Kamu nakal, dsb). Hal itu justru akan menambah beban stress mereka. Karena namanya anak-anak, mungkin saja mereka gak menyadari apa yang mereka perbuat, baik atau gak baik, sebagaimana logikanya orang dewasa. Maka dari itu, duduk saja di dekat anak, ajak kontak mata dan cukup bilang dengan singkat saja, ‘Mama dan Papa kecewa/sedih…’.Setelah itu perbanyak ekspresi non verbal, lalu duduk tenang di dekat anak tanpa melakukan aktifitas apapun (makan, telepon, nonton TV, dsb) apalagi pergi meninggalkannya! Ini akan fatal.

Coba pikir, lebih baik mana. Mengatakan kita kecewa/marah lalu meninggalkannya sendirian melewati masa krisis atau mengatakan kita kecewa tapi tetap ada disisinya, menemaninya melewati masa stressnya???

Sebenarnya bersikap cuek namun tetap respek dengan anak tidak akan melukai hati anak. Ini juga membantu anak melewati ‘masa kritisnya’ tidak sendirian, hati anak tidak terlalu terluka dan tidak terus merasa bersalah. Memanfaatkan ekspresi non verbal kita jauh lebih baik ketimbang marah-marah dengan kata-kata kasar atau dengan nada mengancam. Dan posisi kita yang tidak meninggalkan anak, membuatnya merasa dihargai dan didampingi melewati masa-masa stressnya. Anak tidak merasa ditolak orang tuanya.

Efek kedepannya, jika suatu saat anak menghadapi masalah, ia tidak akan sungkan untuk bercerita ke orang tua. Anak tidak akan takut akan dimarahi karena merasa ortunya sangat bijak, selalu ada untuknya, selalu mendengarkannya, selalu respek padanya. Anak tidak akan merasa sendiri melewati masalahnya karena ortu selalu mendampinginya.

Efek lanjutannya adalah ketika remaja, anak yang sering dihukum bisa menjadi anak yang pemberontak, lebih percaya orang lain ketimbang orang tuanya sendiri. Lebih nyaman curhat ke orang lain ketimbang curhat ke orang tuanya sendiri. Anak mungkin akan sulit memaafkan dirinya apalagi memaafkan orang tuanya yang selalu berkata kasar/menghukumnya sejak kecil. (Chr.Senda/01/6/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...