Rabu, 01 Juli 2009

Jadi Juga Mampir Ke Jogja*

(Sebuah Cerpen)

Aku bangun dari mimpi yang terpotong untuk melanjutkan kisah nyataku selanjutnya agar cerita bisu tentang sebuah kegagalan pertemuan atau ketidakdatanganya sesseorang menemuiku benar-benar adalah mimpi belaka yang harus aku bungkus dan buang di kotak sampah. Menyatakan perasaanku kepada pagi mungkin baru inilah yang pertama. Sehingga cukup membuat dadaku gemetar. Ahh, aku hanya membutuhkan sebuah penggalan kelakuanku pagi ini agar aku benar-benar sadar dan siap menyambut yang nyata itu lalu lupa bahwa mimpiku sepuluh menit yang lalu itu adalah angin gigil usang semata.

Aku membasuh muka. Memakai celana pendek hitamku yang sakunya sudah bolong. Tak lupa memakai kaos putih kebangganku bergambar piala Oscar. Aku berpikir, pagi ini aku harus berlari kecil. Aku harus memakai sepatu agar sadarku nanti tak lecet. Aku harus berlari mengejar kenyataan yang sedikit kutinggalkan karena mimpi usang sesaat itu. Aku benci kegagalan, aku benci ingkar janji, yang lantas jika itu terjadi aku harus ingat pula, aku benci perpisahan, aku benci pertemuan yang singkat.

Aku sudah siap berlari. Aku pun berlari kecil. Bumijo Lor masih larut dalam lelap. Gowongan masih bermimpi rupanya. Mangkubumi penuh dengan kaum tunawisma dan para loper koran yang sibuk bertransaksi saban pagi buta di sekitar redaksi Kedaulatan Rakyat. Banyak pertemuan nyaris tanpa suara keras. Yah, ini masih pagi buta. Orang-orang masih sibuk bermimpi dan aku sudah berlari kecil mengejar kenyataan yang belum kutahu wujudnya. Kenyataan dengan seribu kemungkinan yang tersibak nantinya, sepuluh atau dua puluh menit kemudian. Aku toh masih punya waktu yang banyak untuk terus berlari, menerobos kabut pagi lalu puas dengan sesosok yang kukira-kira-kureka-reka dalam bayangan mentalku nantinya akan ada di depanku, ‘Hi, Iker yah?’ atau sebuah pengiriman kode komunikasi singkat secara nonverbal yang kira-kira artinya sama, karena pertemuan nyata ini sudah dilalui dengan berjuta kali proses pertemuan di dunia maya.

Tapi kenapa aku harus terus berpikir sedangkan pagi ini aku harus berlari? Aku sudah menendang-nendang udara kecut Malioboro. Di depan restoran McDonald’s yang lengah aku berhenti sejenak, kuk terasa perih. Aku butuh minum. Tiba-tiba handphoen-ku berdering, ‘Ker, aku sudah sampai, kau dimana?’ suara yang khas itu berseloroh di ujung sana. Aku sudah berlari kawan, dekat sekali malahan. Tunggu saja. Aku sudah dan sedang mengumpulkan tenaga dan keberanianku lagi.

Pagi memang terasa lamban kawan. Mungkin hanya pagi ini. Tidak pada pagi-pagi yang lain tatkala aku mengayuh semangat menuju tempatku bergelayut dengan sejuta mimpi kanak-kanak. Atau pagi ini lambat karena aku telah bermimpi tentang ketidakhadirannya dan kebingungan dengan sikapku terhadap tamu baru, teman yang akan aku temui. Pagiku selalu menyuguhkan seribu pertaanyaan klasik: ‘aku sungguh akan terus berkutat dengan perasaan subjektifku karena aku terlahir dengan seribu perasaan serba tak enak. Ahhh.’

Aku kembali berlari dengan sedikit lebih kencang dan tetes-tetes air tampias dari dahiku. Surya akan lamban menyingsing pagi ini, pikirku. Di depan sana orang-orang ramai sekali. Mataku mulai mengitari setiap ruang dengan tak beraturannya. Tak ada jawaban di depanku, tak ada tanda. Aku terus mencari dan lupa dengan pikiranku: ‘jangan lupa berjabat tangan, beri senyum bahagia, jadilah tuan rumah yang ramah. Kesan pertama penting kawan.’

Aku lupa? Iya dan aku juga ingat jika pagi ini aku benar-benar tak menemui sosoknya. Semuanya asing disini. Apa aku masih bermimpi? Di luar sana orang-orang satu per satu pergi, menuju taksi, becak, sepeda motor atau mobil. Pergi memecah pagi. Mentari masih terlelap. Aku sudah berlari jauh dan aku tak menemukan kenyataan terbaik disini. Kenyataan memang lebih cepat berlalu daripada impian. Aku hanya sesosok asing tanpa suara disini, di antara terali-terali tua peninggalan Belanda. Aku terdiam lama sampai semangatku benar-benar layu. 05.11 WIB, dia benar-benar tak mampir ke Jogjakarta.


***

Clock Alarm dari HP ku berdering keras. Astaga. Sudah jam 04.51 WIB, aku harus ke stasiun Tugu. Jam 05.00 WIB teman baikku tiba dari Jakarta. Disamping bantalku masih tergeletak secarik kertas yang isinya kutulis semalam. Aku meraihnya dan mulai membacanya lagi. ‘Hari pertama: Tamansari, keraton, masjid agung, pos besar,taman budaya, pasar beringharjo, benteng vredeburg-festival kesenian jogjakarta, gedung agung, mirota batik, malioboro, kopi jos, Es Krim Tip Top, Tugu. Hari kedua: Prambanan, bakpia patuk, malioboro, bebek goreng haji slamet, UGM, gudeg Yu Djum, Kali Code. Aku hanya tersenyum dan siap berlari.

***

‘Hi, Farid yah?’Kita bersalaman.

‘Iya, Iker kan?’

‘Selamat datang di Jogjakarta’

‘Gimana perjalananya?’

‘yah lumayan capek’

'Naik becak atau jalan aja?'

‘naik becak aja yah?’

'Baiklah...'


***


Surya masih belum menampakkan diri tapi Jogja nampak mulai bergeliat. Selamat datang di Jogja kawan. Aku siap jadi tour guide-mu ha-ha-ha-ha...(Dicky Christian Senda)

Jogja 1 Juli 2009, kamar kost sempit di bilangan Bumijo Lor
* percampuran fiksi dan nonfiksi

(foto dari ericbdg.blog.friendster.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...