Jumat, 17 Oktober 2008

Asrama Putera Syuradikara angkatan 2002-2005



Ini adalah foto satu-satunya kenangan yang sangat berharga bagi saya. Betapa merekalah yang membuat saya ada sebagaimana seharusnya saya ada bersama, saya kuat sebagaimana seharusnya jiwa saya tumbuh kokoh, bahagia sebagaimana harusnya saya tertawa bersama, tahu diri sebagaimana sudah selayaknya saya menyadari keberadaan saya, siapa saya, siapa orang lain selain saya, bagaimana seharusnya saya memperlakukan diri saya didepan mata saya dan mata teman-teman saya. Tiga tahun terasa kurang jika saja saya sudah begitu mencintai keberadaan saya dan teman-teman saya. Menyadari seutuhnya untuk apa saya ada, untuk apa saya dikirim ke Syuradikara, untuk apa saya mearuh kekosongan saya pada sebuah tempat bernama Asyur.
Foto ini begitu berarti hingga selalu saya pajang di dinding kamar saya. Posisi terbaik dimana saya sebisa mungkin setia berpapasan ketika lelahku hanya demi hidup, dan bolehlah untuk sesaat saya bisa dihantar pada titik dimana saya merasakan diri saya apa adanya, tanpa tipu muslihat. Merasakan diri saya tumbuh dengan penuhnya disisi teman-teman saya, hanya disini, pada foto ini.
Maafkan jika ini hanyalah buah dari emosi pribadiku semata, buah dari rasa syukurku untuk hidup yang berarti, bolehlah Tuhan berikan pada saya pada periode 2002-2005.
Terima kasihku buat teman-temanku, who are us crew yang hebat-hebat ini. Kalian adalah laskar kehidupan sejati. Ini semata hanya perasaan mendalam saya atas kesempatan melewati ziarah kehidupan bersama kalian, meski hanya 3 tahun bersama. Bolehlah jika kini saya begitu berbagga hati karena kebersamaan kita di Asyur berbuah pelangi yang sudah mewarnai isi hidupku, pribadiku.
Foto ini diambil sehari sebelum ujian semester terakhir kami di Syuradikara. Waktu itu hari minggu dan esoknya ujian bahasa Indonesia. Semua serba mendadak ketika diputuskan untuk memakai baju serba putih dan sesegera mungkin menuju studio foto. Siang yang terik tak mengurungkan niat kami segerombolan remaja, berpakaian serba putih, berjalan kaki menuju ke studio foto. Semua terjadi begitu cepat seperti halnya ‘perseteruan’sesaat kami dengan teman-teman seangkatan dari asrama putrid Trikara. Pasalnya mereka menduga kami telah mendapat soal yang bocor dan tak seorangpun dari kami yang berbaik hati untuk membagikan soal tersebut. Padahal nyatanya kami tak mempunyainya. Begitulah perempuan. Selalu menanggapi sesuatu dengan perasaan bukan dengan logika.
Foto inilah yang kemudian dicetak banyak untuk dibagikan ke kami masing-masing, selain terutama diberikan kepada bapak asrama tercinta pater John Balan, SVD, pater Rektor Syuradikara, pater Didimus Nai serta frater pendamping kami yang baik hati, frater Erno Bhegu.
Terima kasih dan banyak salam buat teman-temanku tercinta, who are us crew:
Gerald Louis Fori Mario S. Sanudin Maximilianus Aristo Magang Krisantus Romelus Kandars Konradus Melianus Krisna Putra Yulius Nahason Soka Christianto Senda Eugenius PS Kandar Rhino Gande Robertus Wona Kristoforus Sisi Stefanus Doni Aeng Sefri Doa Heriyanto Jemy

Ingatku ketika kita menjalani masa ‘sulit’ bersama sedari awal, ada benturan kita saling marahan, ada saat kita susah bersama, makan seadanya, kesulitan air bersama. Ada saat tawa bergemuruh di segala sudut asrama. Saat malam adalah saatnya bercerita di deretan bak mandi. Saat pengertian hadir dalam diskusi sengit di kamar barang yang pengab dan selalu berdebu. Saat diam, berkutat dengan buku dan PR masing-masing di ruang kelas yang tenang dan sepi (terkadang gelap misterius). Saat bersama melangkah ke kapel, atau sekedar mengintip malu-malu dibalik jendela kapel atau bak di samping kapela hanya demi pujaan hati, kekasih jiwa kita, saudari seperjuangan kita dari Trikara akan pulang.
Saat kita terpaksa mandi di kamar mandi tetangga, biara bruder. Saat malam minggu kita menyusup ke pasar Senggol untuk sekedar makan bakso, membeli sabun atau nekad bermain PS 2 hingga larut malam. Saat terpaksa kita sama-sama melompat pagar, sama-sama menipu sana-sini. Canda ria di kamar makan atau di dapur bersama ka’e-ka’e yang cerewet ‘menggemaskan’ itu. Saat bersama mandi di pantai Nangalala. Saat peluh tertumpah, sekuat tegana kita taklukan gunung Meja bersama. Terlalu banyak hal bersama kita lakukan, yang jika aku tulis disini takkan ada habisnya. Oya, bersama saat kita berpesta ria di aula hingga pagi menjelang atau dengan cemberut atau terpaksa bekerja bakti membersihkan taman.
Kita selalu ada bersama untuk bahagia dan derita. Larut bersama tawa dan marah. Diam berbalut malu dan rasa bersalah. Canda dan tuduhan demi tuduhan kita terima bersama. Saat kita dimarahi, saat kita dikucilkan, saat kita selalu disalahkan. Saat kita menerima ‘karma’ itu. Atau saat kita terpaksa merasakan pahitnya sesaat menjadi ‘raja’ dan kemudian digulingkan karena kecerobohan kita juga ‘dosa’ masa lalu, yang bernama ‘tradisi’. Ah, apapun itu, semuanya member warna tersendiri pada pribadi kita masing-masing. Untuk itulah kedepannya tak berlebihan jika saya menyebutnya karunia kekuatan, yang saya rasakan mungkin juga kalian, kawan, ketika kita masing-masing terpisah, ke barat dan timur kita pergi menjauh. Kenanganlah yang terus kita bawa. Kenangan yang menguatkan kita, hati dan jiwa kita, hingga saat ini. Adakah kau merasakan hal yang sama, sahabat-sahabatku? Ceritakanlah padaku, pada dunia, bahwa kebersamaan kita dulu telah menguatkan hati dan jiwa kita masing-masing…selamanya. Selamanya yah, jika dilandasi ketulusan. Oh, apakah dulu kita lupa melandasi persahabatan kita dengan ketulusan? Tidak, saya kira sama sekali tidak. Karena jika tidak, tak mungkin foto ini masih aku simpan….c

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...