Jumat, 14 Maret 2014

Pohon Kersen, Batman dan Dicky

 Oleh: Mario F Lawi 

(tulisan ini dicopy dari In Patria Liberrima Habitamus)

Ketika pertama kali membaca cerpen Pohon Kersen dan Batman dalam manuskrip kumpulan cerpen Christian Dicky Senda Kanuku Leon, dua hal terlintas dalam pikiran saya. Pertama, sejumlah potongan adegan dalam film The Dark Knight yang dibintangi Christopher Nolan; kedua, adegan-adegan dalam cerpen Linda Christanty yang berjudul Pohon Kersen yang menjadi pembuka kumpulan cerpen Rahasia Selma (Gramedia Pustaka Utama, 2010).
Salah satu adegan yang sempat saya reka dalam The Dark Knight adalah adegan ketika Batman dikepung kawanan penjahat karena menangkap seorang dari mereka. Dalam keadaan demikian, Batman lalu melontarkan tali berparasut suar sebelum dikait oleh sebuah pesawat yang membawa Batman dan tawanannya terbang menjauhi kepungan. Batman adalah superhero Amerika yang diciptakan dengan sayap tanpa bisa terbang. “Mengapa Batman tidak bisa terbang meskipun ia memiliki sayap?” adalah pertanyaan yang pernah mengganggu pikiran saya sejak pertama kali menonton film Batman.
Cerpen Linda Christanty yang berjudul Pohon Kersen mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang biasa menghabiskan waktu siang harinya di atas pohon kersen sambil mengamati kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar rumahnya, membayangkan pantai yang tersembunyi atau membaca buku-buku kesukaannya. Bagi anak perempuan itu, pohon kersen adalah bagian dari caranya memandang dunia di sekitarnya.
Dalam cerpen Pohon Kersen dan Batman, Dicky membuka kisahnya dengan sebuah pertanyaan tentang diri, “Beta ini siapa?”—yang kemudian diulangnya sebanyak lima kali untuk membangun suspens cerita. Dalam cerpen Pohon Kersen dan Batman, Dicky beberapa kali membiarkan Batman dan Gotham City hadir secara verbal dalam konflik batin si tokoh ‘aku’. Pohon kersen adalah tempat si tokoh ‘aku’ menggantungkan dengan benang kelelawar kertas buatannya.
Strategi literal yang digunakan Linda dan Dicky dalam masing-masing cerpen mereka tentu berbeda. Cerpen Linda menarasikan dunia melalui sudut pandang seorang anak perempuan dengan antididaktik (tanpa kesan menggurui). Cerpen Dicky berlaku sebaliknya. Kesan yang sangat didaktik dapat ditemukan hingga bagian terakhir cerpen Dicky yang merekonstruksi sejumlah potongan cerita dalam sebuah format pemberitaan surat kabar. Pembaca sudah diberi tahu ‘ini’ dan ‘itu’ tanpa mesti terlalu sibuk mengerutkan kening. Strategi ini berhasil justru karena Dicky sejak awal menjaga suspens cerita dengan sabar.
“Terbang jauh seperti Batman” yang dinyatakan dalam salah satu penggalan Pohon Kersen dan Batman merupakan sebuah metafora—baik secara tekstual maupun intertekstual—untuk mengindikasikan akhir kisah tokoh ‘aku’ yang tragis. Tokoh ‘aku’ di akhir kisah, ditemukan tewas gantung diri di pohon kersen depan rumah setelah membunuh tetangga perempuannya yang sering menghina dirinya. Tidak hanya Pohon Kersen dan Batman, lima belas cerpen lain dalam kumpulan cerpen Kanuku Leon menarik untuk dibaca, selain karena beragam tema yang ditawarkan, juga karena kemampuan Dicky untuk membangun suspens cerita.
Siapakah Christian Dicky Senda? Sebagai blogger, biodatanya akan dengan mudah ditemukan di internet. Dicky adalah seorang pegiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Komunitas Blogger NTT dan Forum SoE Peduli. Saya mengenalnya sejak ia mempublikasikan kumpulan puisinya yang berjudul Cerah Hati (IBC, 2011). Setelah bergabung dengan Komunitas Sastra Dusun Flobamora, perkembangan kepenulisannya cukup pesat. Ia tercatat sebagai satu dari tiga penulis NTT yang diundang ke even sastra internasional Makassar Interational Writers Festival yang dihelat pada Juni 2013 yang lalu. Pada minggu terakhir bulan Maret tahun ini, Dicky juga akan menghadiri Asean Literary Festival 2014 di Jakarta.
Sebagai seorang cerpenis, keberadaan Dicky sangat menjanjikan bagi perkembangan sastra NTT selanjutnya. Ia muda dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Strategi literal dan kecakapan estetis yang dimilikinya juga berbeda dari yang dimiliki sejumlah pendahulu seperti Mezra E. Pellondou, Maria Matildis Banda, bahkan Gerson Poyk. Jika Dicky mampu memperdalam visi kepenulisannya sambil memperluas medan bacaan, saya percaya, ia mampu terbang tinggi, tanpa perlu menggunakan bantuan sayap kelelawar maupun ayunan tali di pohon kersen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...