(catatan gak penting soal sinetron Indonesia)
Dulu saya penonton sinetron Indonesia, tp semenjak di Jogja saya kok makin alergi dengan produk pertelevisian kita ini (please, jangan bandingkan dgn sinetron-atawa serial televisi luar, sungguh berbeda). Makin kesini, menonton sinetron sungguh bikin eneg. Ini akibar dr kadar sensasional dan kontroversial cerita hingga membunuh realitas dan logika sama sekali! Jika sudah begini, mungkinkah dengan berjamurnya sinetron-sinetron yg sama mirip satu sama lain (cerita dan kualitas teknisnya) maka bisa kita pastikan jg karena tipikal masyarakat kita yg terlampau memakai perasaan tanpa logika? (saya sedang membayangkan beberapa kerabat dekat yg begitu larut dalam konflik hebat antara si miskin dan si kaya misalnya, sampai-sampai lupa :’masa sih sebegitunya? Real gak sih? Lebay atau orang kupang bilang leb-lebe su’. Tapi itulah kondisinya sekarang produk sinetron berjamuran di berbagai stasiun televisi kita, bahkan menduduki jam-jam unggulan/primetime.
Bicara masalah ini, sebenarnya akan ada banyak hal terkait, misalnya dugaan plagiarisme cerita, soal latahnya ide cerita sinetron (contoh: belakangan ini kok ramai yah cerita sinetron bertema ‘anak yg tertukar-anak si kaya tertukar dgn anak si miskin’ hadoooh terpeliharalah sudah sineas-sineas Indonesia miskin kreativitas.) Lha kok saya bisa tahu? He he sedikit mengamati bukan 100% menonton tiap malam. Belum lagi soal kualitas akting pemain (konon katanya mereka yg main di sinetron kejar tayang bisa dibayar berkali-kali lipat). Ini tentunya terkait dengan teknisnya, gimana mau bikin produk berkualitas kalo syuting hr ini buat ditayangkan besok. Lupakan kualitas. Akhirnya memang jalan terbaik yg mereka pilih untuk menarik perhatian pemirsa adalah bukan saja si pemain yg mungkin orang terkenal, ceritanya pun dibuat sebombastis dan sesensasi mungkin-dan menafikan logika/nalar mentah-mentah! Belum lagi dengan tata musiknya yg sepanjang durasi berbunyi….creeeng creeeng wiiiiiuuung caaas casss…heboh banget deh pokoknya mengoyak-oyak perasaan penonton.
Belakangan ini saya malah lebih suka memperhatikan para penikmat sinetron ketimbang ceritanya. Oke, saya punya banyak waktu liburan dan memanfaatkan ini untuk sebuah observasi kecil, ‘melihat ekspresi dan kedalaman emosi penonton sinetron’, yg kebetulan adalah kerabat sy sendiri. Ketika menulis ini pun saya mencoba melihat apa sih sisi positif sinetron kita? Aduuh jangan sampai deh dengan begini sy sendiri mau bilang kalau keluarga dan teman-teman sy yg penyuka sinetron adalah orang yg kurang…ahh gak. Masyarakat kita emang haus hiburan. Sinetron mungkin adalah pelarian paling pas dan murah, sejenak dr berbagai kesulitan hidup yg membelenggu hari-hari masyarakat kita, krn pemimpin kita jg gak becus urus negeri ini. Complicated. Emang gak ada pilihan juga. (kalo benar sih bahwa selera pasar spt ini juga dibentuk oleh para produsen sinetron).
Beberapa bulan lalu sy pernah rebutan remote kontrol sama orang terdekat saya krn selera menonton kita beda. Mama saya pun sempat kesal krn sinetron kesayangannya di RCTI yg tayang saban hari jam 7 malam itu sy ganti dengan program lain. Suatu saat saya pun nyerah dan berpikir untuk ikutan nonton untuk memahai penontonnya bukan isi cerita sama sekali. Mama dan papa saya suka sekali dengan sinetron ‘Putri yg ditukar PYD)’ (saya rasa banyak judul sinetron dr 10 tahun lalu selalu mengangkat isu ini. Anak tertukar, anak miskin vs anak kaya, perjodohan dan intrik dlm keluarga yg seolah gak ada habisnya, gak ada positifnya. Kalo gak yg protagonis yg super baek dan polos yah yg antagonis-sarkastis. Yah dua-duanya sama-sama bikin saya urut dada, ada yg manusia kayak gini??. Ngomong-ngomong soal sinetron PYD, sosok bernama Amira (diperankan dengan akting pas-pasan oleh Nikita Willy) yg mungkin saat ini paling ngetren dibenak masyarakat Indonesia. Saya berani jamin. Kebetulan disaat yg bersamaan sy melakukan beberapa perjalanan di beberapa wilayah spt Atambua, Kefa, Soe, Kupang, Larantuka, Maumere, Paga, dan Ende. Disemua kota atau ditempat sy menginap pasti orang rumahnya membicarakan Amira, nonton PYD tiap malam tanpa absen. Bahkan di kampung bapak saya yg belum terlayani PLN, masy. Rela patungan beli bensin untuk menyalakan genset demi melihat kepolosan Nikita Willy (Amira) yg gak ketulungan polosnya setiap malam! Oya, saya naik kapal ferry Ile Mandiri dan saat itu pihak ferry menyetel RCTI, saya malah sangat surprise dengan beberapa penumpang disamping saya yg begitu antusias menonton dan mengomentari dengan emosi yg cukup naik turun akibat sinetron Amira ini. Hal serupa yg jg saya alami ketika singgah di salah satu kerabat di kawasan Perumnas Maumere, di Ende dan di Paga juga. Wuuiih. Saking seringnya nonton bareng saya pun jd hafal nama-nama tokoh dlm sinetron tsb. Ketika mengunjungi kakak sy yg ngekos di Atambua, beliau bercerita saking cintanya pada Amira, seorang tentangga sebelah kamar pernah sekali gak nonton Amira krn sakit. Esoknya ketika bangun yg pertama ditanyain ke tentangga sebelah adalah: ‘eh gimana Amira semalam??’, sontak seluruh kamar kos langsung tersenyum geli. Lantas seseorang berseloroh, ‘semalam Amiranya demam, jd gak main sinetron…’. Ha ha ha…mungkin dgn begitu obat dokter akan kalah manjur nih ketimbang sinetron Amira.
Kalo sudah begini saya kok jadi berpikir untuk bilang ke mama supaya mengurangi porsi nonton sinetron pasalnya 2 minggu belakangan ini tensi darah mama sedang meninggi, kan bahaya kalo nonton sinetron terus. (saya sendiri sih sudah sering melihat ekspresi emosi mama saya yg begitu larut, misalnya ketika ada adegan antagonis dr pemain. Mama saya benar-benar mengekspresikan sbg orang yg sebal dengan periaku sang pemain…biasanya sy langsung berseloroh, ‘mama…itu Cuma sinetron ma, aktiiiiing!!’ ha ha ha).
Yah sudahlah semoga efeknya sesaat aja. Tapi kalo melihat suguhan cerita yg hari-harinya hanya menggambarkan sebuah perseteruan, polemik, dll, masa sih hal tersebut tdk terbenam dlm bawah sadar manusiawi kita?? Salam Amira…
(Mollo Utara, 23 Desember 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...