Suatu
hari ketika pulang dari sekolah saya mendengar ada suara memanggil nama saya datang
dari arah pohon beringin besar di depan gereja Katolik Santa Maria Immaculata
di kampung saya, Mollo. Ketika itu sedang hujan lebat dan saya menggunakan daun
pisang untuk melindungi kepala dan buku-buku saya. Saya terus berjalan, mulai
takut tapi saya juga penasaran dengan suara dari pohon beringin itu. Ah, itu
halusinasi atau apa, sebab hujan sedang turun dengan derasnya, kabut menebal
dan saya sedang lapar. Ketika tiba di rumah saya mulai berpikir bahwa sudah
beberapa waktu saya mulai terus bertanya tentang beberapa keanehan sekaligus
rasa takjub akan fenomena yang ada di kampung saya. Saat itu saya baru kelas 5
SD, kerap didongengi ayah dan ibu saya tentang Timor. Saya juga sedang semangat
berkegiatan di gereja baik itu paduan suara, drama, latihan doa menjelang
komuni pertama. Di rumah pastor persis di samping gereja ada televisi juga
perpustaan dengan banyak koleksi majalah Bobo dan Kunang-Kunang juga beberapa
seri biografi bergambar para santo dan santa—orang-orang kudus dalam gereja
Katolik yang selalu saya baca.
Saya
beruntung berada di lingkungan sekolah dan gereja yang kental dengan tradisi
misionaris yang kental. Saya menghabiskan masa kecil hingga remaja di Mollo,
kabupaten Timor Tengah Selatan, sekitar 130 km dari Kupang. Selanjutnya
merantau ke Pulau Flores, tepatnya di Ende, kampung bapak saya untuk
melanjutkan sekolah. Banyak pertanyaan yang merupakan buah dari proses
mendengar dan mengamati itulah yang kemudian memotivasi saya untuk menulis,
dimulai dari buku catatan berisi pengalaman harian, puisi juga cerita-cerita
pendek, sebab saya anak bungsu, anak rumahan yang suka dunia seni tapi tak suka
olahraga. Saya lebih suka menulis, membantu mama memasak di rumah atau
mengobrol sejarah dengan bapak saya.
Pertanyaan-Pertanyaan dari Masa Kecil
Pertanyaan-pertanyaan
awal yang saya ingat kala itu adalah mengapa pohon beringin menjadi penting di
kampung saya. Mengapa selalu ada pohon beringin di depan sekolah, kantor camat,
puskesmas, gereja, lapangan umum, rumah raja, pekuburan dan gerbang kampung.
Atau pertanyaan lain, mengapa dua gunung purba yang bisa saya lihat dari
bingkai jendela kamar saya serupa dengan kakek tua dan satunya lagu serupa
payudara perempuan. Pertanyaan itu lantas saya simpan untuk diri saya, lalu
menjawab sendiri dengan imajinasi dan ide yang saya tumpahkan ke buku harian.
Ada yang berbentuk tulisan, ada yang berupa gambar. Puisi pertama yang saya
tulis, seingat saya berbicara tentang kabut yang kerap turun ke kampung di sore
hari hingga matahari terbit. Saya membayangkan kabut adalah sosok malaikat,
kawan yang tulus. Sementara itu ketika bermain petak umpet bersama kawan-kawan
di halaman gereja, saya dengan sedikit penasaran mulai berani untuk memanjat
dan bersembunyi di atas dahan pohon beringin yang pernah memanggil saya. Di
bawah batang pohon itu pernah ditahtakan sebuah patung Maria sebelum akhirnya
dipindahkan ke bukit Napi di belakang biara susteran. Nasib saya sedikit naas
kali itu. Saya pernah terjatuh dari dahan pohon beringin. Lutut dan lengan saya
sedikit memar. Orang tua mulai khawatir karena saya mulai jarang di rumah.
Mungkin untuk menakut-nakuti saya, mama mulai berkisah beberapa pengalaman
realisme magis, tentang suanggi (tukang teluh) bermata merah yang bisa terbang
dan putri salah satu kerabat yang pernah diculik mahkluk gaib, ditemukan dua
hari kemudian sedang terikat di pohon beringin dengan mulut tersumpal
rerumputan. Entah mengapa saya tidak takut sama sekali. Saat itu saya sudah
kelas 6 SD dan mulai suka bertualang ke hutan bersama beberapa kawan akrab. Keinginan
untuk dekat dengan alam, mencari tahu dan menjawab sendiri dengan imajinasi
mulai tumbuh subur, didukung dengan kebiasaan mendongeng dari orang tua. Di
sisi lain, kegiatan Sekami (semacam perkumpulan anak-anak di lingkungan gereja)
masih terus dilakukan. Hari minggu diisi dengan menjadi misdinar (putra altar)
di gereja lalu bertualang ke hutan dengan alasan hendak mengambil air atau cari
kayu bakar supaya tidak dimarahi orang tua. Menonton televisi juga menjadi
kebiasaan baru. Tahun 90an, baru satu dua orang yang sudah punya TV di kampung.
Saya lebih suka serial Xena dan Wiro Sableng ketimbang Power Rangers atau Doraemon.
Barangkali karena lebih nyata dan dekat dengan alam, sama seperti saya.
Siapakah Orang Mollo itu?
Mollo
tempat saya lahir dan besar adalah sebuah wilayah bekas kerajaan Oenam (lalu
menjadi kerajaan Mollo saat Belanda masuk). Mollo menjadi sangat penting bagi
orang Timor karena di sana ada sebuah gunung tertinggi di pulau Timor bahkan di
NTT, namanya gunung Mutis. Orang Dawan yang merupakan suku asli di Timor Barat
percaya bahwa di sanalah salah satu titik peradaban tumbuh, yang dalam gambaran
beberapa sejarawan dan antropolog, para manusia Timor pertama itu berciri tubuh
pendek, berkulit hitam dan berambut keriting mirip seperti orang Aborigin dan Austronesia
lainnya. Kelak ketika saya dewasa dan pergi ke kampung-kampung di lereng gunung
Mutis untuk bertanya langsung ke tua-tua adat ihwal pertanyaan masa lalu saya,
mereka bilang bahwa nenek moyang mereka benar berciri demikian. Orang-orang
yang hidup di gua dan tebing-tebing, makan buah dan madu. Mereka sangat dekat
dan mampu berkomunikasi dengan binatang melalui seruling dari kulit kayu,
merayu lebah madu dengan puisi dan menitip makanan untuk hantu baik penjaga
kebun dan mataair. Mereka juga percaya bahwa batu-batu kediaman mereka dulunya
berjalan dari arah timur, menuju satu bintang di tenggara. Hingga kini pintu
ume kbubu atau rumah bulat mereka menghadap ke bintang yang mereka percayai
itu. Mereka juga percaya bahwa gunung Mutis yang ‘bercahaya’ itu adalah tempat
berkumpul semua arwah orang mati, masuk akal sebenarnya bahwa hingga tahun
1800-an, gunung Mutis masih berstatus gunung api aktif. Saya kemudian dibuat
sangat takjub dengan serentetan jawaban yang saya temui langsung ketika sudah
dewasa, mulai giat meriset dan menulis cerpen juga puisi dari memori masa kanak
saya.
Bapak
saya orang Flores, setelah lulus polisi kemudian bertugas di Mollo bertemu
dengan mama saya yang seorang peranakan Timor-Belanda dan Jawa. Mereka sangat
berbeda, namun itu turut memperkaya hidup saya. Bapak saya Katolik tulen,
mayoritas orang Flores memang begitu. Sedangkan mama saya anak tunggal dari
ayah yang Protestan taat dan ibu yang Muslim garis keras. Tentu saja mereka juga
datang dari latar budaya yang berbeda, maka beruntunglah saya hidup dengan
mitos dan dongeng-dongeng yang beragam. Lengkap sudah. Di dua buku cerpen saya,
Kanuku Leon dan Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi, kalian akan menemukan kekayaan
kultural dan alam ini menjadi sorot utama yang memberi warna tersendiri. Saya
seakan menemukan kekuatan saya dalam menulis. Tema-tema keluarga, mitos,
dongeng dan kekayaan alam Timor dan Flores secara sadar saya pilih.
Tentang Proses Menemukan Pertanyaan
Dalam
proses mencari jawaban sebenarnya dari pertanayaan masa kanak, saya akhirnya
menemukan diri saya sendiri. Setelah bertumbuh dengan berbagai dongeng
menakjubkan juga keindahan alam Mollo yang memantik imajinasi, saya pindah ke Ende
di Flores untuk melanjutkan SMA. Di sana saya bersekolah di sebuah sekolah
misionaris SVD yang sebangian gurunya adalah pastor dan suster dan tinggal di
asrama yang model pendidikannya mirip seminari (sekolah khusus untuk calon
pastor). Nuansa akademisnya terjaga, budaya membaca dan diskusi tercipta dan
yang paling penting saya menemukan beberapa sosok guru yang sangat memotivasi.
Mereka juga pembaca dan penikmat karya sastra. Seperti orang Mollo yang memuja
bintang sembilan di langit tenggara, saya pun seperti menemukan energi dan arah
yang lebih jelas tentang proses kreatif tersembunyi saya. Dari kepala sekolah
dan bapak asrama, saya dipinjami beberapa buku sastra penting. Tahun 2002 di
sebuah kota kecil di Flores, saya tahu juga ada penulis bernama Rendra, Seno
Gumira Adjidarma, Ayu Utami, Dewi Lestari, Paulo Coelho dan JK Rowling. Kebiasaan
menulis terus saya pupuk, menulis untuk diri saya sendiri. Meski sebenarnya
saya yang jauh dari kampung halaman merasa kehilangan momen berinteraksi dengan
alam dan budaya Mollo yang sangat kuat, juga dengan berbagai tuturan sejarah
dan dongeng dari orang tua saya. Di asrama saya menjadi seperti kecil dulu;
introvert, pelamun dan menulis adalah pelarian saya dari budaya senioritas dan
bullying yang kental di asrama.
Ketika
pergi kuliah di Jogja, saya menemukan keasyikan lebih terhadap membaca banyak
buku sastra. Jogja dengan budaya literasi yang tinggi dan akses ke bahan bacaan
juga kesenian yang mudah sehingga itu jadi sebuah kenikmatan yang mahal. Di
Jogja saya banyak menulis puisi, lebih banyak bicara soal pertanyaan dan
gugatan saya soal cinta, agama, politik dan ideologi. Ketika kembali ke Kupang,
saya sudah menerbitkan buku puisi pertama, Cerah Hati. Buku inilah yang
mempertemukan saya dengan pegiat-pegiat sastra di Kupang, misalnya Mario F
Lawi, Romo Amanche Frank, Ragil Sukriwul, Januario Gonzaga, dlsb. Mereka sudah
membentuk Komunitas Sastra Dusun Flobamora kala itu. Bergabung dengan komunitas
ini menjadi satu titik baru dan penting dalam karir kepenulisan saya. Tiap kami
bertemu, berdiskusi dan bertukar buku, saya menemukan hal lain yang lebih besar
yang sudah dilakukan teman-teman ini. Mereka terbuka, saling membaca karya
teman, mengkritik, berdiskusi dan menerbitkan antologi bersama. Saya beralih
dari menulis untuk diri saya sendiri ke menulis untuk lingkungan dan pembaca di
sekeliling saya. Karya saya mulai dikenal lalu diundang ke beberapa festival
sastra sebagai emerging writers.
Kesempatan itu juga membuka wawasan dan perhaulan sastra saya dengan penulis
dari daerah lain. Di Dusun Flobamora, saya mengalami lompatan-lompatan yang
progresif. Saya merasa medan bacaan saya semakin lebih baik, termotivasi dengan
banyak penulis dan berimbas ke perubahan kualitas karya saya sendiri. Tentu
saja ini sebuah berkah mengingat bertumbuh di bidang sastra di NTT tentu saja
bukan hal yang mudah. Sastra dan kesenian masih tersegmentasi, umumnya di
kalangan seminari atau komunitas kecil. Kampus, sekolah dan media lokal belum
menjadikan sastra dan kesenian sebagai sebuah tradisi yang terus berkembang.
Kampung Halaman dalam Cerita Pendek
Kembali
ke kampung halaman, masa kanak saya juga tradisi orang Mollo yang terus melekat
kuat hingga kini. Tahun 2013 saya pertama kali menerbitkan buku kumpulan cerpen
saya Kanuku Leon. Berisi belasan cerpen yang sebenarnya lahir dari sebuah
proses refleksi atas sejumlah pertanyaan dan pengalaman saya akan kampung
halaman, rumah dan keluarga. Cerpen Kanuku Leon sendiri adalah upaya saya
menuliskan kembali perjumpaan dongeng masa kecil saya dengan pertanyaan yang
akhirnya terjawab setelah saya bertemu dengan berbagai literatur dan informasi
langsung dari mafefa atau amaf, para penutur adat dalam strata
sosial suku Dawan Timor. Frasa Kanuku Leon sendiri bermakna raja yang
melindungi dan mengayomi, dalam bahasa kuno di Timor, yang dilambangkan serupa
pohon beringin. Itulah mengapa selalu ada pohon beringin dalam situs-situs
penting di kampung. Dan bagi orang Mollo sendiri, praktik menggantung ari-ari bayi
di atas pohon beringin adalah sebuah ritual doa yang sangat penting, sebab
keteduhan dan kebijaksanaan pohon beringin adalah harapan dan siapa yang
menaruh ari-ari tersebut juga sebuah pertimbangan, sebab dipercaya kelak anak
itu akan punya sifat dan karakter yang sama dengan orang tersebut. Para kakek
dan neneklah yang biasanya diserahi tugas untuk menaruh ari-ari ke atas pohon
beringin. Di cerpen Kanuku Leon saya mencoba menggabungkan dongeng tentang
penguasa Mollo perdana yang punya misi menguasai sejumlah mata air di lereng
gunung-gunung di Mollo. Lalu saya mencoba menghubungkan misi penyelamatan
lingkungan oleh raja dulu dengan usaha perempuan Mollo masa kini dengan
keturunannya yang berhasil mengusir penambang asing dari tanah Mollo. Cara
orang Mollo mempertahankan alam dari kerusakan adalah membuat hukum adat yang
ketat, menamai mata air (oekanaf) dan
batu (fatukanaf) sesuai dengan
marga/fam dengan demikian mereka punya beban moral dan spiritual untuk menjaga
mata air, tanah dan bebatuan di kampung mereka. Saya terinspirasi dari
perjuangan mama Aleta Baun, pejuang lingkungan asal Mollo, penerima Goldman
Prize 2013. Saya meramu dongeng dan kisah nyata itu dengan beberapa mitos orang
Timor tentang pohon, burung, roh-roh dan konsep penguasa langit (uis neno) juga penguasa bumi (uis pah/uis nitu). Kritik saya bukan
saja kepada para penambang melainkan juga kepada para amaf (tua adat) yang
silau oleh uang sehingga mau menggadai oekanaf dan fatukanafnya. Keinginan
untuk menguasai tanah, hutan cendana dan gunung marmer juga dilakukan oleh para
raja Mollo dulu yang memonopoli perdagangan cendana dan pemerintahan Orde Baru
lewat aturan pemutihan cendana (PP No. 86), dalam cerpen Hau Kamelin dan Tuan
Kamlasi. Hukum adat yang kuat juga saya gambarkan dalam cerpen.
Sastra dan Kemanusiaan
Saya
percaya, sastra menyuarakan sisi kemanusian. Maka sebagai penulis karya sastra,
saya ingin mengangkat isu-isu humanis dimulai dari diri saya, keluarga, rumah
dan kampung halaman. Selain pengaruh budaya di tempat saya bertumbuh, pengaruh
lain yang turut memperkaya pemahaman saya akan sastra yang humanis adalah
gereja Katolik. Seperti yang sudah saya singgung di atas bahwa saya bertumbuh
dalam tradisi kekatolikan yang sangat kental baik dari rumah maupun di sekolah,
asrama dan lingkungan gereja saya. Perjumpaan dan interaksi saya dengan para
misionaris di masa kanak saya turut menginspirasi hadirnya tokoh-tokoh pemimpin
yang hangat dan bijaksana. Misalnya pengaruh tokoh Romo Agustinus dalam
kehidupan koster (pelayan di gereja) yang menggugat Tuhan setelah diterpa
serentetan peristiwa kepergian dan kematian pacarnya yang seorang TKW di
Malaysia (cerpen Gugur Sepe Usapi Sonbai). Tokoh Romo bijaksana lainnya ada di
cerpen Ada Kisah tentang Lukisan Ikan di Fetonai, tentang satu keluarga nelayan
yang dikucilkan umat sebuah kapela, atau tentang misionaris indigo di antara
dua tradisi besar ketika melihat kematian dan arwah baik dalam gereja Katolik
maupun kepercayaan suku Dawan Timor (cerpen Saok Nate untuk Ayah). Atau topik
inkulturasi iman Katolik dengan kepercayaan suku Lio di Flores dalam cerpen
Kisah Ana Sonda dari Seroara. Para misionaris itu adalah persepsi langsung dan
memori masa lalu saya akan sosok pastor yang saya kenal di masa kecil dulu di
kampung. Namun saya juga mengkritisi perilaku sebagian (oknum) pastor/pendeta
kini yang begitu individualis dan cenderung menghakimi umat, saya singgung di
cerpen Suanggi. Atau bagaimana mereka yang punya kuasa di gereja ikut terlibat
dalam ‘memanfaatkan’ kesempatan peristiwa 65 untuk mengkristenkan masyarakat
suku Dawan penganut aliran
kepercayaan lokal, halaika secara
paksa, dengan ancaman kalau menolak artinya komunis, ateis dan layak dibunuh. Kritik
ini coba saya singgung di beberapa cerpen saya di buku terbaru, Sai Rai, yang
akan terbit bulan Agustus nanti. Tema 65 bagi saya menarik, sebab begitu
kuatnya doktrin itu berhembus jauh dari Jakarta, hingga ke Mollo yang kala itu
masih sangat udik. Konflik tanah antara warga dengan pemodal dan raja kala itu,
ditambah persaingan kelompok guru yang progresif di PKI versus para tokoh agama
di partai kristen juga persaingan persaingan ekonomi antar kelas memicu
pengadilan jalanan antar warga masyarakat tak bisa terhindar. Aparat kemudian
menghembuskan teror ke masyarakat lewat dongeng ‘petrus’, orang potong kepala
(OPK), dsb.
Realisme Magis dan Penokohan dalam
Tradisi Orang Mollo
Saya
ingin menutup catatan saya ini dengan sebuah tradisi betutur, bersastra yang
sudah mendarah daging dalam kehidupan orang Mollo. Seperti kebanyakan suku di
NTT, orang Mollo tidak mengenal tradisi menulis. Buah-buah pemikiran, hukum
adat, silsilah keluarga dan dongeng, diteruskan ke generasi berikutnya lewat
tradisi bertutur (puisi, pantun dan lagu yang dikenal dengan nama natoni), juga disimbolkan lewat tangan
terampil penenun. Dalam lembar kain mereka menceritakan silsilah keluarga dan klan/marga
(biasanya dilambangkan dengan motif binatang), situs fatukanaf dan oekanaf,
dan keadaan geografis kampung (peta yang disimbolkan dengan bentuk bujusangkar,
garis, dan gradasi warna). Dan yang paling menarik perhatian saya adalah upaya
orang Mollo menokohkan setiap elemen alam semesta dan isinya. Misalnya, fetonai (feto: perempuan, nai: agung)
untuk menyebut lebah madu. Ungkapan itu merujuk juga ke bagaimana cara mereka
memperlakukan lebah madu, menggiring lebah ke sarang dengan doa, kemudian merayu
lebah dengan lagu dan puisi sebelum panen. Atau bagaimana orang Mollo melihat gunung
Fatunaususu yang menyembut seperti payudara perempuan. Fatunaususu dalam arti
harafiah adalah batu besar yang menyusui batu-batu kecil di sekiarnya. Ia
adalah ibu dari segala batu. Ketika investor tambang masuk dan memotong
Fatunaususu yang mengandung marmer berkualitas nomor 1, orang Mollo berbaris
menentang. Para perempuan Mollo bahkan menghadang alat-alat berat dengan dada telanjang
membusung sebagai penegasan bahwa ketika payurada ibu diambil, ke mana lagi
anak-anak akan menyusu. Jelas saja di kaki Fatunaususu ada begitu banyak sumber
mata air.
Di
Mollo setiap marga/fam punya lambang sendiri. Kakek saya punya nama Soleman
Kamlasi, ia punya totem kalajengking dan nama kampung Sae. Ketika beliau wafat,
rumah kami sering kedatangan kalajengking dan anehnya kalajengking itu tidak menyerang
kami. Di kampung bapak saya di Flores, mereka punya totem ular. Ular itu
tinggal di matair kampung dan sesekali masuk ke kebun untuk menyuburkan tanah.
Ketika ular itu masuk ke pemukiman, mereka akan menyiram tubuh ular itu dengan
beras, jagung atau sorgum dan berucap, ‘pulang sudah, kami tahu kau itu siapa.”
Namun ketika ada anggota klan bapak saya yang punya tanda lahir di tubuh
seperti naga, maka artinya bencana. Ia tak bisa punya istri/suami atau punya
anak. Itu kutukan sampai kapanpun. Sampai sekarang dongeng itu terus hidup di
kampung bapak saya.
Penokohan
lain misalnya cendana disebut kayu setan. Setan bagi orang Mollo tidak selalu
yang negatif. Penguasa bumi juga digambarkan sebagai uis nitu atau raja setan. Nitu punya sifat baik jika manusia pun
bersikap baik terhadap alam semesta. Ladang akan subur ketika manusia
menghormati dan menjalankan segenap ritual adat buka kebun, tanam benih hingga
panen dengan baik. Uis Nitu akan marah ketika manusia mencuri madu sebelum
saatnya panen. Begitu pun juga konsep Nitu dalam tubuh kayu cendana. Ia
dianggap punya kekuatan spirtiual yang tinggi. Ketika para prajurit pulang dari
medang perang, mereka akan diurapi dengan asap cendana untuk mengusir roh jahat
dan mendatangkan roh baik. Ketika cendana dipanen di masa yang tidak tepat dan
tanpa ritual penghormatan terhadap tubuh pohon cendana maka dipercaya kayunya akan
mendatangkan masalah bagi manusia yang memotongnya.
Batu
nama (fatukanaf) dan air nama (oekanaf) yang saya sebut di atas, adalah
cara setiap marga melindungi asetnya (tanah, air, batu dan hutan). Penamaan
benda-benda alam dengan nama atau karakter yang lekat dengan manusia dianggap
sebagai cara penghormatan bagi benda alam tersebut. Benda alam tersebut
merepresentasikan tubuh dan karakter pemilik fam/marga. Jika benda alam itu
dirusak maka artinya marga itu pun ikut rusak. Di Timor sangat familiar nama
tempat selalu diawali dengan oe (air) dan fatu (batu), jenis pohon, warna dan
nama binatang. Misalnya, Fatunaususu atau batu payudara, Oehala (air terjun
yang bentuknya seperti tempat tidur), Fafinisin (gigi babi), Panmolo (hidung
kuning), Ajaobaki (pohon cemara yang tumbuh berbaris), dsb.
Demikian
alam dan budaya Mollo yang telah memperkaya imajinasi saya sejak kecil hingga
saat ini, menjadi penting bagi warna sastra saya. Dengan tugas sastra yang saya
percayai yakni sebagai jalan untuk menyuarakan kemanusiaan, seperti yang selalu
dilakukan orang-orang Mollo, menyuarakan kemanusiaan dan hidup selaras dengan
alam maka saya ingin bahwa karya sastra saya mengandung pesan kemanusiaan juga
pesan ekologis. Sebab saya orang Mollo, saya kira saya harus ikut
bertanggungjawab menjaga tradisi leluhur saya lewat karya sastra saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...