kritik lebay untuk film Indonesia lebay
Bagi kalian yang menguasai jumlah bioskop (maksud
saya kalian yang tinggal di Indonesia bagian Barat) mungkin akan melihat wah
keren ya film Aisyah, jarang nih film tanah air bicara soal isu pendidikan dan
agama, di daerah Indonesia Timur pula. Atau mungkin akan terpukau dan bilang
wah eksotik ya NTT, tapi kok masih susah air ya, dan seterusnya. Tapi bagi saya
film ini produk jualan semata, banyak hal tak valid dan ternyata payah juga. Sudah
begitu kondisi NTT khususnya Timor yang beraneka ragam dipaksa untuk dilihat
secara seragam. Saya kira cukup selama rezim Orde Baru, jawanisasi menembus hingga ke pelosok Timor. Lalu jika sekarang bioskop terbanyak ada di Jawa dan film dengan label/stereotip dan banyak salah kaprah ini diputar dan ditonton orang banyak, ini akan merugikan kami di sini.
Rasanya
kalo jualan cerita yang katanya inspiratif dari Indonesia Timur dibingkai alam
yang eksotis, budaya yang unik, dan serentetan problem kemanusiaan pasti akan
mengundang banyak sponsor, akan laris manis jika kalau memasang pemain utama
berhijab di poster. Wuih! NTT, alam eksotis, isu kemanusiaan, plus tokoh utama
berhijab sasarannya tentu saja sudah jelas, untuk penonton muslim mayoritas di
Indonesia yang saya sebut menguasai bioskop tadi. Kalau bisa mengekor
kesuksesan film dengan tren ‘bungkusan’ sejenis (maksud saya yang menonjolkan karakter
utama jelas: perempuan berhijab yang sudah terdeteksi dari posternya) seperti
Talak 3, Hijab Backpacker, Hijab, Mars, Jilbab Travelers, Ketika Mas Gagah
Pergi, Pesantren Impian, dll tentu sponsor senang. Ah, saya terlalu menuduh?
Tapi, bukankah trennya pasarnya memang demikian?
Di
NTT respon awal film ini ketika muncul trailer sudah sedemikian riuh pro dan
kontranya di Facebook. Banyak yang senang dan bangga, cieeeh akhirnya kampung
kita masuk film atau yang kontra karena lumayan kaget dengan isi trailer yang
seolah menggambarkan intoleransi di NTT dan pertanyaan kecil yang menggelikan:
apakah iya orang NTT tak bisa membedakan mana biarawati Katolik (suster) dengan
perempuan muslim berhijab? Meski akhirnya ketika nonton film secara utuh hal
menggelikan atau rasa terstigma itu mendapat titik terang, meski ya begitulan
tidak terang benderang sekali, malah tidak memberi jawaban secara utuh. Barangkali
publik di sini yang agak terganggu itu adalah mereka juga yang sudah terlalu
banyak kecewa sama film dengan latar NTT, sebut saja dulu ada film Tanah Air
Beta, lalu Atambua 39 Derajat Celsius. Mungkin problem terbesarnya adalah minim
riset sehingga banyak kali kesalahan yang sama terulang dari hal kecil hingga
yang dianggap fatal. Harus dipahami dulu bahwa budaya, bahasa dan logat
misalnya yang sangat beragam di NTT, beda kabupaten bahasa dan budayanya sudah
beda. Belum lagi bicara fakta-fakta yang diangkat film Aisyah cenderung
berlebihan dan dipertanyakan keabsahannya. Hal ini selalu saja ada dan sangat
mengganggu bagi kita di NTT. Oke, di NTT bioskop cuma 1 (6 layar, kapasitas
900an kursi), ada cuma di Kupang, tidak ada di 21 kabupaten lainnya sehingga
pasti tak banyak yang sadar dan kritik untuk meluruskan. Tapi kalian yang
tinggal di belahan barat, yang menguasai bioskop dan akses informasi, lalu
disuguhkan potret kami di sini dan akan nikmati saja sebagai sesuatu yang baru
benar atau tidak belakangan. Kalau informasi itu bagus sih tak masalah, tapi
kalau yang ditampilkan serentetan stigma, stereotip, asumsi dan informasi yang
tidak valid, yang rugi ya kami di sini. Ini yang harus kita lawan.
Ini
film fiksi tapi latarnya jelas di sebuah dusun di perbatasan kabupaten TTU dan
Belu. Sekali lagi latarnya jelas, bukan sebuah tempat antah berantah. Saya tak
tahu berapa lama riset film ini. Saya surprise juga ketika tahu bahwa skenario film
ini ditulis oleh Jujur Prananto adaptasi dari tulisan yang dibuat orang lain.
Nama Jujur tidak asing bagi saya yang sehari-hari bergiat di komunitas sastra.
Saya mau bilang ke kalian, siapapun sineas yang mau buat film di NTT, kalau
riset mepet mending tak usah bikin film deh. Ah, apa saya berlebihan? Sekedar
mengingatkan saja bahkan di sini, beda kampung bisa jadi beda bahasa, beda kain
tenun, beda logat, beda pulau (ya, karena masih ada orang Indonesia yang
mengira Kupang dan Ende itu satu pulau), beda kondisi alam, dan seterusnya. Jadi
kalau anda bikin film dengan latar di perbatasan TTU dan Belu lalu sebagian
besar dialog pemain berbahasa Melayu Kupang itu lucu tak terkira, bodoh dan tak
bisa ditawar-tawar lagi: film ini gagal dan menyesatkan. Anak-anak di pedalaman
Belu dan TTU punya bahasa yang jauh berbeda dengan anak-anak di TTS dan Kupang.
Mana bisa orang Dawan-Tetum sana berbahasa melayu Kupang?
Lagipula
kami sudah cukup memaafkan kesalahan Alenia dulu ketika memilih anak Papua
sebagai tokoh utama di film Tanah Air Beta yang berlatar Belu. Ketika film
berkisah tentang anak Timor Leste tapi sepanjang film si aktor berlogat Papua
itu sangat menganggu telinga kami di sini, wahai bapak ibu filmaker. Eh
ternyata kesalahan masih terjadi di Aisyah yang memakai Arie Kriting dengan
logat Ambon campur Kupang yang absrud itu. Antara ketawa miris sambil elus
perut karena rasa ingin boker. Bukan mau beda-bedakan tapi inilah kekayaan
identitas kita. Kalau di pulau Jawa bahasa mayoritas kurang lebih ada 4 yakni Madura, Betawi, Jawa, Sunda (menurut catatan Wikipedia ada 12 meski yang lain penuturnya tidak sebanyak 4 bahasa tadi) maka di Indonesia Timur bahasa ada ratusan! Di NTT ada 61 (menurut penelitian SIL tahun 1997 yang dimuat di majalah Ethnology Language of the World). Stop penyeragaman.
Indonesia itu luas, banyak warna dan beragam. Jangan malas riset, malas cari
tahu sehingga akhirnya rajin menyeragamkan segala hal dan menyebarkan informasi
tidak valid.
Bicara
isu intoleransi, ini sangat sensitif karena kenyataanya agama sudah ramai
dipakai sama politisi, militer, kelompok ormas tertentu untuk menarik simpati
sekaligus upaya menyingkirkan pihak yang tidak disukai. Catat! Lalu Apa iya
orang NTT intoleran, khususnya orang Timor di kabupaten TTS dan TTU? Dalam film
sudah dijelaskan meski samar, bahwa tokoh Lordis yang intoleran dipengaruhi
oleh omnya yang preman, jarang bergaul dan bekerja di kapal yang sering
bolak-balik Atambua-Ambon. Agak dramatis berlebihan ala FTV ketika Lordis yang
disebut sering bolos sekolah berbulan-bulan karena ikut omnya belayar, tinggal
terasing dari kampung dan punya orang tua yang jarang bergaul di dusun tapi kok
dengan mudahnya punya power untuk memengaruhi teman-temannya bahwa Aisyah
adalah penyusup, musuh orang Katolik, bla bla? Saya malah lebih tertarik dengan
anggapan miring tentang NTT dari orang tua Aisyah (diperankan Lidya Kandow)
yang tinggal di Jawa Barat. Omong-omong, sebelum kita lanjut melihat
kejanggalan bapak sutradara, mari kita main tebak-tebakan dengan kata kunci:
NTT, Jawa Barat dan Intolerasi. Pertanyaannya adalah provinsi mana yang paling
intoleran di Indonesia? Ide baru nih bikin film tentang guru asal Timor, sebut
saja Fransiskus yang ikut program SM3T atau Pengajar Muda dan ditempatkan di
provinsinya pak Aher hehehe.
Kejanggalan-kejanggalan
lain yang bikin saya miris, pengen boker dan harus bilang bahwa film ini ada banyak
omong kosongnya:
- Orang di pedalaman Timor, sekalipun
miskin dan buta huruf tapi sonde akan kasih tamu sesuatu yang penting,
seperti uang, hanya di kantong plastik atau diberi begitu saja dengan
tangan kosong. Mereka memang tidak mengenal amplop, tapi wadah sirih
pinang yang dianyam dari daun lontar atau bonak hutan adalah wadah penting
bukan saja tempat menaruh sirih pinang tapi sekaligus biasa dipakai untuk menghormati
orang yang ingin diberi sesuatu. (Kabarnya kru riset setahun. Jadi perlu waktu setahun utk hasilkan satu adegan tolol ini). Kase atau orang asing/pendatang/orang
luar suku bagi orang Timor bahkan akan sangat dihormati melebihi orang
sesuku atau semarga mereka. Orang Timor mudah tersinggung kalau situs adat
mereka dirusak orang asing, namun sepanjang orang asing itu datang dan
berperilaku baik semuanya akan baik saja apapun agamanya, suku dan
bahasanya.
- Masa sih orang Timor sonde bisa
bedakan kerudung biarawati Katolik dengan jilbab orang Islam? Setahu saya,
jauh sebelum guru-guru SM3T atau Pengajar Muda yang berjilbab datang
mengajar ke Timor, orang Timor sudah kenal dan bergaul akrab dengan pedagang
perempuan dari Bugis yang banyak berjilbab dan rajin pergi ke pasar-pasar
hingga ke pedalaman. Sudah puluhan tahun mereka datang dan tinggal di
Timor, berdagang dari satu pasar kampung ke pasar kampung yang lain. Plis deh.
Ya inilah susahnya kalau kenyataan NTT yang beraneka ragam dinafikan, diabaikan,
dan dipaksakan untuk seragam oleh sutradara yang bisa jadi datang dari
kondisi yang seragam itu.
- Saya mencatat lebih dari ketiga
kali respon seragam yang janggal dari anak-anak ketika salah seorang dari
antara mereka salah bicara dan yang lain secara spontan langsung teriak,
mencibir dan kompak menujuk dengan jari telunjuk ke teman yang salah
bicara tersebut. Kalau heboh, mencibir, atau bahkan membully, iya bisa
terjadi tapi kalau semua hal direspon dengan cara yang seragam yakni
menujuk jari ke satu titik, lebay ah.
Saya
kira setelah rezim Soeharto runtuh, cara pandang orang terhadap Indonesia yang
beraneka ragam sudah ikut runtuh juga, ternyata tidak. Kita masih dipaksa untuk
seragam. Kita masih dilihat dengan kacamata kuda. Apesnya, kita bahkan jadi
obyek jualan dan eksploitasi paling empuk. Iya, kita yang jauh dari ibukota,
yang bukan tinggal di Jawa. Percayalah, kami tidak selebay yang digambarkan di
film Aisyah.
Saya harus apresiasi juga
orang-orang yang sudah bekerja baik di film ini. Upaya Bella untuk berakting
dengan bahasa lokal okelah, patut diapreasiasi, meski sebenarnya bahasa dan
logat itu tidak kontekstual. Kedua, salut untuk akting mama Dusun, sangat natural. Selamat
untuk Tya Subiyakto juga, aransemen lagu Oras Loro Malirin jadi sangat keren.
Salam.
Kupang,
2016
Salam kenal, Kaka Dicky :)
BalasHapusSetuju dengan analisis Kaka di sini, logat memang beda walaupun untuk kuping yang bukan orang NTT pasti terdengar mirip (pertama datang ke SoE, sudah pakai logat, tapi mahasiswa langsung tuduh beta orang Papua hahaha). Son bisa pukul rata.
Tapi yayaya, kalau pasar maunya gitu, dan tentu saja film adalah bisnis yang maunya untung, tentu saja isu-isu yang market oriented akan dipakai. Cuma kok ya nggak mau repot pergi ke Belu sana bikin riset? Apa susahnya sih? Etapi kalau pergi riset kan keluar uang lagi, Kaka. Bisa habis uang sebelum dapat untung. Bisnis lho ini, bisnis!
Dalam :)
BalasHapushay, k' Dicky lama tak jumpa..
BalasHapussetelah baca analisis kk di atas beta semakin penasaran dengan ini film,, kepengen meninggalkan tanah marapu sejenak untuk kembali ke kupang supaya bisa nntn ini film,,
untuk ke janggalan ke 2 yg kakak bahas diatas,, b lebih melihat ke arah yg lebih jelas,, masa org NTT sonde bisa bedakan kerudung biarawati Katolik dengan jilbab orang Islam,, apa lagi untuk daerah Belu dan TTU yg notabene mayoritas manyarakatnya memeluk agama katolik.. dari kecil mereka sudah terbiasa melihat biarawati dan tau betul apa ciri2 biarawati dalah hal cara berpakaian..
b setuju masalah riset yang kk bahas.. klo mau bikin film tapi snd brani riset mending snd usah.. sebalum film di buat perencanaannya tentu sudah harus jelas,, bukan cman tentang apa yang mau di bahas dlm film tp juga tentang biaya yang dibutuhkan,, klo memang takut rugi na skalian jangan.. klo bicara bisnis,, org bisnis akan perhitungkan untung ruginya jauh sebelum memulai sesuatu.. klo memang dri awal sduah merasa akan rugi jangan dipaksa krna hasilnya hanya akan mengecewakan.. film bukan saja tentang hiburan, dan bisnis.. apalagi film seperti ini,, ada nilai pendidikan dan moril yang harusnya dapat digambarkan dengan jelas dalam film ini,,
Masyarakat NTT saat ini sudah kritis,, terima kasih krna sudah mengangkat budaya kami tapi ketika semua itu tidak di bekali riset yang baik dan akhirnya justru salah arah maka semua pihak harus siap menerima kritik dari kami,,
salam..
Makasih ulasannya teman,
BalasHapusSaya mau tambahkan cerita saya, Di ngada Ada film ttg Inerie, tapi saya menolak nonton sampai selesai Karena terasa sekali tidak original, Dari logat dan beberapa Hal kecil.
Hal lain adalah 2 anak NTT yg ikut dalam stand up comedy, saya rasa mereka dibawah asuhan arie kriting, Karena mereka tidak menggunakan logat kupang atau logat Dari daerah asal mereka, mereka membawa logat Papua absurd. Mungkin kalo film aisyah ini bikin logat asli daerah tersebut, penikmat bioskop yg sodara sebut diatas tidak mengerti.
Jadi yah, namanya industri film Indonesia, mana Ada yg sesuai dengan kenyataan.
Analisa yang bagus...tapi menurt saya sih ini FILM bukan kisah nyata... so AISYAH biarkan kami bersaudara....KEREEEEEEEN BANGETTTT....NGET...
BalasHapusSetuju kaka, pembuat film harus gugat tim riset tu
BalasHapusB sepakat deng analisis diatas, sempat kaget waktu nonton n dengar dialeknya, trus aneh juga Kepala Dusun itu tergolong aparat pemerintah, masa iya sonde bisa bedakan hijab muslim dan kerudungnya biarawati. Tentang Lordis memang ada kontranya tapi mengangkat isu agama sonde begitu berpengaruh karna malah semua warga sonde permasalahkan agamanya Aisyah. Pemberian uang di kantong ke Aisyah juga, masa iya orang timor kasi uang taro di kantong... tradisi Okomama hampir terjadi di hampir seluruh pulau timor.
BalasHapusEnding film yg model ke FTV bikin ini film sonde mencapai klimaksnya.
Intinya ketahuan kalo ini film kurang riset... padahal salah satu pemerannya Om Deky Seo (Pemeran Kepala Dusun) adalah orang NTT asli yg sebenarnya tau kebudayaan di NTT.
Maaf b kurang paham soal film tapi yg b tangkap dari ini fil sperti itu
Sangat Berani Om Dicky.... Salut
BalasHapusWah saya baca ini
BalasHapusminggu lalu saya melihat triller film ini disebuah stasiun TV yang ditayangkan dini hari. Bangun dari tidur saya syok mendengar kata2 mari kita kristenkan saja. Saya sebagai seorang katholik merasa film ini SARA sekali karena mengangkat minoritas. Bagaiman jika dibuat film tentang orang katholik yang dibawakan samurai saat ibadah dirumah?? saya dan teman saya cukup syok dengan film ini. Kisah inspiratir tetapi membawa luka bagi saya pribadi. Teman saya dari NTT juga berkata bahwa film ini terlalu SARA.
saya setuju dengan analisis diatas. memang ebnar semua krn bisnis film. banyak hal disesuaikan dengan cerita yang sudah terbiasa didengar oleh masyarakat luas. alhasil, orang asli dari cerita tersebut akan mempermasalahkan ini dan merasa ini sangat menggelitik hati. hal ini pun tdk hanya terjadi di film Aisyah namun juga beberapa film yang dalam tahun ini dirilis.
BalasHapussemoga para sineas muda mampu mengangkat film2 berkualitas namun tidak melupakan fakta2 atau ciri khas dari daerah tsb.
Jika hanya fiksi seperti yang kakak Rietha bilang, harusnya ada tulisan diakir film "cerita ini adalah fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama, tokoh, karakter atau peristiwa"
BalasHapusAnalisis yg bagus dan kritis, memang harus demikian pula. Walaupun ini cuman film atau hx fiktif belaka, tp isi pesannya secara umum sngat mnjatuhkan budaya toleransi yg sudah ada di NTT sejak dulu.
BalasHapusB ju setuju bu... Ini film tll beda jauh dg kndisi aslix.. Mestix dong pke logat dawan ato tetum..knp pke logat kupang.. Trus bys org klo ksh uang ato brg b'hrga tu truh d okomama..ato tmpat anyaman tu.. Lagian NTT ne Provinsi yg saling mghormati kbragaman agama.. Jd mmg krg pas skali.. Dong snd tau na klo hx ad d indonesia timur ksususx NTT yg dalam satu rmh bs tggl lebih dari 1 agama tp dong hidup rukun.. Ini film tll lejoo..n Tll payoyeh org kupang blg..
BalasHapusanalisis yang terlalu mndalam, saya kemarin ingin menonton seutuhnya tapi syang jam tayang sudah lewat. dan poin no 2 itu adalah sesuatu yang membawa orang luar berpikir bahwa kita masih dalam suku yang primitif dan tidak mengenal yang mana bairawati dan juga yang mana agama muslim.
BalasHapusupaya NTT untuk mendatangkan wisatawan di NTT dirusak dengan adanya film ini. semoga ini bisa di klarifikasi kedepannya
Salam buat teman teman sekalian,,saya sdh baca blog ny,,tpi menurut saya ngapain kita ribut ribut di medsos mendingan laporin saja ke KPI(komisi penyiaran Indonesia)aman... Thx ya brurr & sisa tanpa sekat tanpa batas..
BalasHapus