Saya hanya tiba-tiba punya pikiran untuk menulis catatan ini ketika
selesai nonton film Aisyah. Sebelumnya saya sudah menulis catatan kritis tentang film itu di sini. Kali ini saya mau berpendapat soal air di Timor. Problem air yang juga diangkat di film Aisyah.
Timor yang kering dan gersang digambarkan jelas di sana. Saya
sendiri kagum dengan daya tahan orang Timor di pulau ini. Problem air memang
sudah sepanjang sejarah peradaban manusianya.
Bicara air, bicara kekeringan di Timor, saya tiba-tiba
ingat beberapa dongeng saat masih kecil dulu di Mollo. Dongeng yang kemudian
menginspirasi saya menulis cerita-cerita pendek yang terkumpul dalam buku
Kanuku Leon (2013). Ceritanya begini, zaman dahulu pulau Timor dikuasai oleh
raja-raja dari wilayah Belu dan sekitarnya. Mereka konon adalah keturunan dewa
matahari. Para putra mahkota, kakak beradik itulah yang disebut pergi ke arah
barat sehingga akhirnya lahirlah kerajaan baru Banam, Onam dan Oenam atau pusat
kekuasaan yang kini dikenal dengan nama Amanatun, Amanuban dan Mollo. Mollo
sendiri adalah kampung halaman saya, yang diceritakan dikuasai oleh salah satu
putra mahkota dari timur dengan misi utama ingin menguasai mata air. Di Mollo
ada gunung Mutis, gunung tertinggi di NTT yang berselimutkan hutan lebat dan
gunung-gunung juga
perbukitan karst di sekitarnya. Itu sebab Mollo kaya akan marmer, dan
lebih dari itu hutan dan
bebatuannya menangkap dan menyimpan banyak air. Air yang kemudian mampu
menghidupi beberapa kabupaten di pulau Timor seperti kabupaten Kupang, TTS, TTU
dan Malaka.
Kami di Mollo sendiri punya cara sendiri untuk hidup
berelasi dengan alam
semesta. Istilah 'oe'
atau air dan 'fatu' atau batu akan sangat familiar di Timor. Maka lahirlah sebutan 'oekanaf' atau air nama, dan
fatukanaf atau batu nama. Batu dan mata air akan dinamai,
biasanya merujuk pada marga atau klan tertentu selain tanah suku atau hutan
adat. Orang Timor khususnya suku Dawan yang berdiam di kabupaten TTS, TTU dan
Kupang punya filosofi yang mengakar dalam jiwa dan darah mereka bahwa alam
semesta tak ubahnya adalah tubuh manusia itu sendiri. Hutan adalah rambut,
tanah adalah kulit, batu adalah tulang, air adalah darah. Seperti tubuh manusia
yang disokong oleh-oleh kulit, tulang, darah dan rambut maka alam semesta pun
demikian, utuh dan saling berhubungan erat. Jika salah satu elemen hilang atau
rusak maka yang lain pun akan terganggu. Pemberian sifat dan karakter pada alam
semesta menjadikan orang Dawan di Timor tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
alam. Mereka hidup bersama dan saling bergantung. Bahkan di kampung saya di
Mollo, pensifatan terhadap alam semesta sangat spesifik, misalnya Mollo Utara
adalah Fatunaususu atau batu yang menyerupai payuradara perempuan yang menyusui
batu-batu kecil di sekitarnya. Faktanya, di sekeliling lereng Fatunaususu
banyak sekali mata air. Contoh lain, Mollo yang disebut sebagai saudari
perempuan dari gunung atau menyebut fetonai atau perempuan agung untuk lebah
madu. Relasi ini hidup dari generasi ke generasi, lestari lewat hukum adat,
tuturan, syair, dongeng, legenda dan mitos. Fatukanaf dan Oekanaf bahkan adalah
tempat-tempat yang dikeramatkan, penuh dengan aneka ritual dan hukum adat. Hal
ini tentu saja mendukung sikap penghormatan terhadap alam dan semua itu sudah
menjadi bagian dari sebuah struktur kesadaran kolektif. Karena selalu yang diingatkan
adalah semua yang didapat dari alam digunakan untuk kepentingan bersama. Hukum
adat atau mitos ampuh untuk menekan egoisme dan ketamakan pribadi.
![]() |
Fatunaususu, menyembul seperti payudara ibu dengan danaunya |
Kearifan
lokal seperti ini yang menurut saya tidak sukses diterima generasi sekarang.
Modernisme memang tak bisa dielakkan dan mendatangkan sikap-sikap baru baru
manusianya, tak terkecuali manusia di Timor. Bagi saya, untuk melihat problem
Timor hari ini makan harusnya tak bisa kita melepaskan diri dari tatanan
kebudayaan yang sudah terbagun sekian ribu tahun. Bagaimana peradaban nenek
moyang kita berlangsung. Tentu saja dulu mereka pun mengalami masuknya arus
informasi atau kebudayaan baru dari mana-mana tetapi pilihan untuk kembali ke
jalan kebudayaan tetap dipakai. Saya kira hal seperti ini yang saat ini perlu
dikembalikan. Tak ada salahnya untuk meriview kembali kearifan lokal untuk
dipadukan dengan solusi yang lain atas setiap permasalahan yang terjadi di
Timor.
Bicara
krisis air di Timor, jalan kebudayaan harusnya juga menjadi perhatian LSM,
pemerintah atau CSR perusahaan ketika hendak membuat sebuah program bantuak
sosial untuk masyarakat, termasuk ketika kita bicara masalah air bersih. Krisis
air bukan baru sekarang. Orang pertama yang menghuni pulau ini sudah
mengidentifikasi diri mereka sebagai atoni meto atau pah meto, orang atau
manusia kering. Keadaan geografis Timor memang unik, karena diapit dua benua
sehingga kondisi alam dan iklim pun demikian uniknya. Ada musim kering, ada
musim hujan tapi tidak melimpah juga hujannya. Ketika musim panas, kekeringan
bisa sangat ekstrem namun ketika hujan sebagian wilayah juga rutin kebanjiran.
Kesadaran ini bahwa sudah dirasakan oleh nenek moyang kita dulu, makanya ada
raja khusus yang diutus untuk menguasai salah satu daerah tangkapan air
terbesar di Timor, yakni Mollo. Mereka sadar bahwa mereka perlu untuk
melindungi hutan dan gunung tertentu, salah satu caranya adalah memperlakukan
alam semesta seperti sesama manusia. Ada ikatan emosional antara manusia Timor
dengan alam semestanya. Dan itu terjaga hingga kini. Meski di zaman penjajahan
Belanda maupun Orde Baru, upaya penguasaan lahan adat/tanah ulayat yang
biasanya di dalamnya ada fatukanaf dan oekanaf terjadi dan menyebabkan gesekan
juga konflik. Memuncak ketika pemerintah masuk dengan ‘baju’ program hutan tanaman
industri, hutan lindung atau hutan lindung dan disaat yang bersamaan,
menafikkan kearifan lokal, aturan adat dan sistem yang sudah dibangun selama
ini. Pendekatan-pendekatan kebudayaan yang tetap menjadikan manusia dan alam
secara seimbang tanpa ada yang tereksplotasi secara masif, sebagai kawan dan
partner, bukan sebagai tuan dan budak.
Kita
pernah mendengar program reboisasi hingga pipanisasi yang dilakukan pemerintah,
LSM dan korporasi, sebut saja yang terakhir dan paling terkenal yakni program Ada
Aqua dengan tagline “Terima kasih kaka, sekarang sumber aer su dekat...” Pipa
dan bak-bak air dibangun dimana-mana namun setelah pemerintah, LSM atau
perusahaan itu angkat kaki, semua kembali ke nol lagi. Saya mengira pendekatan
atau jalan kebudayaan tidak dipakai, atau dipakai namun tidak maksimal. Mengapa
keatifan lokal lewat hukum adat, legenda, dongeng, mitos dan syair itu bisa
hidup ratusan bahkan ribuan tahun? Kesadaran kolektif itu yang hendaknya
digali, melibatkan mereka secara aktif. Dengan alasan kepraktisan dan
modernisme, kita memang mendekatkan air ke samping rumah melalui pipa. Namun
sebenarnya kita juga sudah menjauhkan mereka dari kesadaran kolektifnya, dari
fatukanaf dan oekanaf tadi: titik awal dari kehidupan mereka. Pipanisasi dan
baknisasi boleh dilakukan namun baiknya tidak menutup akses warga dengan
titik-titik penting tadi. Ketika pemerintah sejak zaman Orde Baru melakukan
reboisasi dan HTI lantas memagari hutan, membuat patok dan menutup akses
masyarakat ke situs-situs leluhur, oekanaf dan fatukanaf mereka tentu sangat
tidak bijak. Semaju, semodern dan seinovatifnya kita memang baiknya nilai dan
filosofi yang arif dan bijaksana dari leluhur itu tak boleh diabaikan. Kita
harus berani menempatkan kearifan lokal itu secara tepat dan proporsional. Saya
ingat sebuah contoh di salah satu lereng Mutis ada mata air besar yang dipakai
untuk PDAM di kabupaten TTS dan TTU untuk mengalirkan air. Namun yang saya
lihat, kesadaran pemerintah untuk melindungi area sekitar mata air itu juga
sangat lemah. Akses masyarakat adat sudah dibatasi sejak lama oleh departemen
kehutanan. Padahal sejatinya hanya kepada merekalah sumber air itu bisa
dilestarikan lewat hukum adat, dongeng, mitos, legenda, dll. Berharap pada
pemerintah? Yang saya dengar pembalakan hutan di lereng Mutis juga masif dan
pelaku lolos-lolos saja karena mudah untuk menyuap polisi hutan atau polisi
umum. Mudah untuk menyuap hakim dan jaksa. Hal yang bertolak belakang jika kita
bicara tentang ranah hukum adat.
Jadi,
jika film seperti Aisyah ingin memotret masalah air meski cuma sepotong dan
tidak mendalam itu, maka tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan pemerintah,
LSM, atau korporasi selama ini. Sekali lagi bagi saya, jalan kebudayaan adalah
sebuah keniscayaan.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...