Kau harusnya ada di sini, duduk di kursi
sebelahku. Dari balkon hotel ini kita sepuasnya mengagumi masa lalu: senja
memeluk teluk, bau laut selatan dan lukisan-lukisan yang tak pernah selesai.
Kau memang telah meninggalkan kota ini untuk beberapa kali purnama sama halnya
denganku meninggalkan pekerjaan demi menemui dirimu. Aku tak bisa melarang
karena kau punya urusan penting lainnya. Apakah aku juga penting? Jika aku
mengharapkan kau ada di sini, aku sejatinya sedang berlawanan dengan kata hati.
Dan rasa kagumku surut seketika di tepi selat Gonsalu.
***
Pesawat yang membawaku dari Kupang
harusnya tiba di bandara Gewayantana, di Larantuka pukul 07.30 WITA. Namun
cuaca pagi ini sedikit menghambat penerbangan. Ada badan khusus yang
memprediksi cuaca, tapi namanya alam ya tetap alam yang tak bisa dibantah dan
dikendalikan manusia seutuhnya. Kami harus berputar-putar di atas langit kelabu
lalu menikmati sejenak 2 menit menegangkan sebelum roda pesawat menyentuh
landasan.
Ini kali perdana aku datang melalui
bandara mungil dekat pantai perawan berbibir bakau. Bunga asoka berwarna kuning
dan merah cerah bersuka-ria dibawah langit muram bulan Februari. Masih ada
jejak hujan di bandara. Aku tentu saja kurang beruntung mendapatkan wujud surga
yang lain berupa laut dan langit membiru dengan gugusan pulau dan gunung api,
sementara perahu kecil nelayan menari lembut ditingkah riak laut. Teringat
perahu kertas di masa kecil.
Masa kecil.
Ingatan tentang Larantuka adalah ingatan
tentang kapal feri Ile Mandiri dari Kupang setiap musim liburan sekolah. Bapak
selalu mengajak aku berlibur ke kampungnya di Maumere, melewati Larantuka.
Ketika pagi buta, kami sudah masuk ke teluk diapit pulau Flores dan Solor.
Puluhan ekor lumba-lumba akan berkejaran mengiringi tubuh kapal. Seperti
anak-anak ikan yang mengiringi ibu mereka pulang ke teluk yang hangat,
pemukiman terbaik dengan sejuta plankton.
Ingatan tentang Larantuka adalah ingatan
tentang Gunung Api Perempuan dan Gunung Api Lelaki yang menghujam langit biru.
Ada selubung asap yang menari teduh ke atas langit, mengingatkan kita pada dongeng
percintaan manusia dan puisi yang dipersembahkan orang-orang Lamaholot bagi Ibu
Tuhan. Ingatanku berganti kepada seribu kapela yang menyambut ketika aku dan
Bapak mampir ke kota sebentar, menengok sepupuku di salah satu biara suster
yang asri. Bapak bilang padaku, “di sini ada prosesi masyur bernama Semana
Santa. Suatu saat kau harus menghadirinya dengan atau tanpa saya.” Bapak
berkata dengan suara agak parau persis ketika kami berpapasan dengan patung
Mater Dolorosa di depan kapela Tuan Ana. Aku menjadi sedih mendengar perkataan
Bapak seperti halnya melihat wajah sedih Ibu Tuhan. Dan aku mengingatmu
melebihi ingatan akan masa kecil kita di Kupang dulu.
Kepadamu, aku menulis begini: pulang ke
Flores itu seumpama pulang ke rumah dengan kamar berisi lemari tua berukiran
naga. Di dalamnya ada berlembar-lembar dongeng milik Bapak, perjalanan
menakjubkan semalam suntuk bersama feri Ile Mandiri kadang feri Rokatenda,
mampir makan siang di Boru. Orang-orang menjual buah segar dan aku lebih
memilih manisan buah kom. Kami tiba di Maumere, Bapak langsung mengajakku
berkeliling kota. Di sebuah toko yang kuingat namanya Kuda Mas, beliau
membelikanku beberapa potong baju bergambar Batman, tokoh favoritku. Kami
bahkan harus bergegas ke Paga dengan angkutan umum terakhir. Bapak besarku—Guru
Da—punya sebuah rumah di pinggir pantai tempat orang sekampung turun ketika
laut surut. Mereka menangkap sejenis ikan karang kecil yang diawetkan dengan
garam dan dimasukan ke dalam botol. Wogi. Salah satu produk ikan terbaik
dari Paga.
(Kau ingat rencana kita untuk mendirikan
kemah di atas bukit di pantai Koka dekat Paga?)
Aku tak suka berlama-lama di Paga. Guru
Da terlalu protektif. Ia selalu mengira jika keponakan-keponakan yang baru
datang dari Timor akan diserang sekelompok suanggi. Aku hanya dibolehkan mampir
sebentar melihat pantai. Aku benci aturan yang melarangku berlama-lama di pantai.
Aku lalu merengek kepada Bapak untuk segera membawaku ke Seroara, kampung
tempat Bapakku lahir. Di sana aku bisa jadi raja untuk beberapa hari. Bapak
punya empat adik perempuan yang setia menjaga kampung. Dari merekalah aku
biasanya akan mendapatkan pelayanan terbaik bak pangeran; makan enak,
didongengi serta diberi senandung lirih betapa mereka begitu mencintai saudara
lelaki mereka yang sudah merantau ke Timor sejak tahun 63. Tak lupa sepiring filu,
kibi dan kopi Flores panas disuguhkan ke atas pusara Mamo Ndona, kakekku. Tradisi pati ka—memberi makan kepada
leluhur. Ketika pulang dari liburan, aku biasanya paling bersemangat membacakan
cerita liburanku di depan kelas. Kutahu banyak teman yang iri. Dan aku makin
bangga jika ada yang iri. Apakah mereka betul-betul iri atau barangkali saya
yang terlalu berlebihan?
Kepadamu, aku menulis begini: pulang ke
Flores adalah pulang ke rumah, dan kau adalah tetanggaku di masa kecil yang
paling baik. Tentu saja kau lebih tahu banyak tentang Flores dan barangkali
kita bisa merencanakan sebuah petualangan gila. Pun ketika kau bicara saja
seharian tanpa kita pergi ke mana-mana, kurasa pemikiranmu telah membawaku ke mana-mana.
Melampaui segala pengalaman dan bahagia yang ingin kita cari. Ajaran untuk
bermimpi paling menyebalkan karena aku ketagihan.
Di pantai Metingdoeng yang hidup,
obrolan kita bisa seirama arus teluk.
***
Aku sedang berada di rumah, Flores.
Hingga tengah malam, aku masih menulis dan melenyut di balkon hotel. Aku
mengingat Bapak yang selalu mengajakku berpetualang dan tak bisa menunaikan
Semana Santa bersama. Aku mengingatmu. Aku mengagumi Bapak yang sudah pergi ke
Surga. Aku kecewa karena tak sempat ber-Semana Santa bersamanya. Kini kau
sendiri pergi jauh, dimulai dari suatu sore yang teduh di atas kursi tali sice
di ruang keluarga. Kau sendiri yang menghitung denyut terakhir jantungmu. Apa
ini kehilangan besar? Aku dikejar mimpi: Aku harus segera memeriksakan
jantungku.
Kursi di sebelah masih kosong. Kau mengirim
pesan singkat, “Aku pusing dengan banyak tuntutan pekerjaanku di sini. Memilih
mengerjakan proyekku, proyek temanku atau pulang ke rumah dan menemanimu
berpetualang. Tapi kau bisa pergi ke rumahku dan melihat lukisanmu di dinding
kamarku.”
Kubilang, kamu lakukan pekerjaanmu saja,
petualangan kita bisa dilakukan lain waktu. Meski dalam hati aku ingin bilang
sebaliknya. Kamu harusnya ada di Larantuka. Kita seharusnya berada di
Metingdoeng yang hidup dan obrolan kita bisa seirama di tepi arus selat
Gonsalu. Kita bisa tertawa sejenak di taman kota dan membiarkan seribu kapela
di belakang kita merenungi senja. Atau kita putar saja waktu: masa kecil, bau
laut pantai Selatan dan lukisan-lukisan yang tak selesai kita garap.
Nelayan masih hilir mudik dengan sampan
kecil mereka. Aroma asin-amis menguar ke seantero kamar hotel. Aku ingin tidur
saja, berharap besok pagi ada kau duduk minum teh di kursi kayu di balkon
kamarku. Atau sebaliknya, cerita ini kututup dengan kenyataan bahwa aku hanya
mengagumimu dari jauh, rindu yang menggebu dan bersiap kecewa karenanya. Atau
kusurutkan saja rasa itu ke arus Gonzalu?
***
Selalu ada rutinitas yang sama seperti
ini. Seorang lelaki akan terbang ke kota ini dan menunggu seseorang di balkon
hotel langganannya. Lalu esoknya ia akan mengunjungi rumah berdinding biru di
seberang kapela mungil. Seorang ibu dengan wajah dingin akan membukakan pintu, memeluk
lelaki itu dan mengantarnya ke kamar di lantai dua. Ibu itu akan membiarkannya
mengamati setiap lukisan dan tidur semaunya hingga kapanpun. Ia akan mencium
tangan ibu itu lalu pulang ke hotel dan penuh rasa kecewa di dada. Sementara di
kamar sang ibu, ada potret perempuan cantik diapit patung Maria dan sebuah
salib. Lilin akan terus menyala sepanjang hari. Dua bulan lagi genap setahun
perempuan cantik itu pergi langit. Dia adalah salah satu korban kapal tenggelam
ketika berlangsung prosesi laut Semana Santa. Dan hingga kini jenazahnya belum
ditemukan. Gonsalu masih menyembunyikan jasadnya.
Lalu lukisan setengah jadi di kamar lantai
dua: potret kuyu lelaki bermata elang. Dan seseorang yang biasa tidur di kamar
itu telah menambahkan gambar seutas tali yang melilit leher pemilik wajah
setengah jadi itu. Ia menambahkan namanya sendiri di pojok lukisan: Leon.
Tunggu
aku di langit, sayang...
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...