Temanku
bilang bahwa lelaki tua itu luar biasa karismatiknya. Aku bilang, istrinya,
mungkin terlihat biasa di matamu tapi jauh lebih misterius bagiku. Bukankah di
rumah bulat beratap ilalang itu ia lebih berkuasa? Ada tiang di rumah mereka
yang dinamai tiang perempuan. Di pokoknya ada batu altar yang masih dipenuhi
bercak darah ayam sementara di atasnya bergelantungan sebuah topeng agak
mengerikan rupanya. Topeng itu mengingatkanku pada sosok kakek yang bengis di
masa kanakku. Aku sendiri tak tahu jam berapa mereka tidur, bangun pagi dan
memasak. Tiga kali aku berkunjung ke rumah mereka dan perempuan tua itu seperti
sangat sibuk sekali dengan beberapa urusan di luar rumah, tepatnya di kampung
sebelah. Berjalan kaki membelah beberapa bukit dalam sunyi. Tapi entah kapan ia
pulang ke rumah, menyelinap begitu saja ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk
kami lalu menghilang lagi; ke kebun kata suaminya. Siangnya, ketika kami sudah
selesai makan, lelaki tua itu bilang bahwa istrinya sedang menghadiri pesta
pernikahan keponakaknya di kampung sebelah. Sungguh, dia si gesit keturunan
Dewa Angin. Perempuan agung bergaris muka tegas.
Temanku
terlalu banyak mengobrol dengan lelaki tua yang sudah memutih rambutnya
sepanjang kami menginap di rumah mereka. Sedangkan aku sedang menanti kapan
perempuan tua itu pulang kemudian berhasil menangkap keberadaanya di dapur
sembari melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya. Aku ingin duduk disampingnya
dan melihat ia menuliskan pesan rahasia di atas lembaran kain yang hampir usai
ditenun. Aku bisa saja sok berusaha menyingkap pesan itu, sementara ia kukuh
pada kisah normatif akan makna dari motif kain yang sedang terbentang di atas
pangkuannya. Sekali lagi, jangan terkecoh dengan perempuan tua misterius.
Hingga tiga hari kami menginap di rumah itu, aku melihat perempuan itu bergerak seperti angin. Aku mulai
menduga-duga, jika ada tamu di rumah maka barangkali ia akan pergi menenun di
padang. Atau barangkali pergi tidur bersama arwah nenek moyangnya di pucuk
bebatuan.
***
Dari
internet aku melihat berita dan fotonya ditulis oleh seorang wartawan asing.
(Berita tentang suaminya sudah terlalu umum). Kau tahu, bertandang ke rumah
kedua pasangan ini seperti sedang pulang ke sebuah kisah dongeng yang lama
hidup di kepala namun kita sendiri tak tahu siapa yang mengembuskan kisah itu
pertama kali. Ia lekat sekaligus nyata. Pekat sekaligus samar-samar. Dalam foto
yang dimuat portal berita asing, perempuan tua itu seperti sedang merangkak di
atas padang mahaluas di kaki gunung purba altar pemujaan mereka. Dongeng yang
pernah mengendap di kepalaku tersingkap jua. Barangkali mereka merangkak untuk
menghormati leluhur. Rambut keriting perempuan itu dibiarkan terurai, kering
dan berwarna perak disaput angin gunung. Pada artikel itu tertulis bahwa perempuan
tua sedang merapalkan sederet mantra yang lebih kedengaran sebagai nyanyian
yang menusuk-nusuk pohon telinga, membongkar segala yang bersemayam di alam
bawah sadar orang sekampung. Madah yang mampu membuat akar segala tanaman
bergejolak bersama pucuk daun yang menyeruak ke arah matahari. Tapi untuk apa
ia memengaruhi alam sadar kita? Artikel itu menulis lagi bahwa ada pesan
tersirat bagi siapa saja untuk menjaga lingkungan. Ah, terlalu klise. Aku berbicara dalam hati.
Perempuan ini benar-benar misterius. Kupikir ia lebih hebat dari suaminya.
Tiba-tiba
perempuan tua itu sudah berada di depanku masih berpakaian adat lengkap. Kain
tenun bermotif garis dan jajar genjang, berwarna seperti pelangi, menutup
tubuhnya. Kalung muti menjuntai dengan gelang dan tusuk konde dari perak,
membuatnya kian perkasa. Kukira ia baru saja pulang dari pesta nikah
keponakannya. Kabarnya lokasi pesta di balik gunung sana, lalu bagaimana
mungkin ia begitu gesit pergi dan kembali dalam satu hari ini? Aku membayangkan
tubuh kurusnya terbang dan menempel dari satu dahan ke dahan lainnya. Ataukah
ia menunggang kuda yang pada sebuah kemiringan tanah menjelang lembah kuda itu
menerbitkan sayap dari punggungnya lalu terbang melewati kanopi hutan ampupu?
Krek!
Pintu
rumah ditutup. Aku terpaku dengan ponsel pintar masih menampilkan wajah kusut
perempuan sedang merangkak di padang di kaki gunung purba. Aku melempar
pandanganku ke wajanya lalu ke atas kepalanya yang disusupi dua batang tusuk
konde berbahan perak. Air mukanya datar, bibir merah sirih pinang dan tangan
kanannya yang masih menarik ujung kain tenunan. Ia seperti sedang
menghadangiku, atau tepatnya ia seperti hendak memakan tubuhku.
Refleks
aku berdiri.
“Kau
mencariku?” tanyanya singkat.
“Bagaimana
kau bisa tahu?”
“Di
manapun aku berada, angin selalu memberitahuku. Kau harus tahu bahwa angin
selalu menyentuh kita dan membisikan sesuatu pada kita. Hanya saja kau belum
memasang telinga di situ.” Ia menunjuk ke dadaku. Ada telinga di dada, yang benar saja.
“Em,
bisakah kita mengobrol di luar. Di sini terlalu gelap dan pengap.”
Perempuan
itu membalik tubuhnya, bukan hendak membuka pintu melainkan menanggalkan sarung
tenunnya. Kulihat gundukan pantatnya sudah mengeriput. Ia mencabut dua tusuk
konde dari gelung rambut dan membiarkan ikal rambut perak mengembang. Ia seperti penyihir. Ia seperti suanggi yang
menakjubkan, suanggi yang sebenarnya. “Suanggiawi”.
“Kau
boleh bilang aku penyihir ataupun suanggi. Tapi baiklah kita menangis.”
Ini gila! Tidak.
“Menangis
akan menyelamatkan jiwamu dari kegilaan dunia.” Ia berucap seperti seorang guru
spiritual. Tapi tubuhnya masih membelakangiku. Barangkali ia malu
mempertontonkan payudara dan kemaluannya kepadaku.
Dan
ia mulai menangis. Dimulai dari tarikan ‘eee’ yang meliuk panjang dan menusuk.
Aku mulai merasa perempuan ini gila. Ia sedang tidak menyembuhkan diri dari
kegilaan namun sedang menuju kegilaan itu sendiri. Bagaimana mungkin ia
telanjang dan menangis seperti kuturui,
seperti hantu?
Ia
melengking lagi dengan nada naik turun yang menyayat hati seperti mengeluarkan
seribu tangan yang menggapai-gapai tubuhku untuk larut dalam pusarannya yang
biru. Sendu. Haru.
Apakah
aku sedang tersesat dalam upacara pemanggilan roh? Seribu tangan kini telah
menggapai kaki dan pinggangku juga kepalaku. Rasanya seperti usapan ibu ketika
aku balita, rasanya nikmat seperti menghisap puting susu ibu. Aku biru, sendu
dan haru sudah. Dan kini aku telanjang dan bulu-buluku meremang. Sesuatu sedang
menuju ke ubun-ubunku.
Perempuan
tua itu berpaling padaku dan kami saling melihat ketelanjangan kami
masing-masing. Terkejut kulihat satu dua telinga bergelatungan di dadanya
diantara gundukan keriput payudaranya. Air matanya tumpah dan teriakan ‘eee’
semakin mendayu-dayu. Ia tidak menangisi ketelanjangan kami tentu saja.
Sementara aku yang masih diambang sadar dan haru seperti juga mau jatuh dalam
medan mimpinya. Bulu-bulu disekujur tubuhku tertiup angin semilir, membuatku
sakit dan munculah anak-anak telinga di dadaku. Terasa dingin dan berair. Ada
yang meluruh dari kakiku. Kemudian rumah ilalang ini membantu.
***
Mereka
menari dalam tangisan sampai kaki mereka mengeluarkan anak sungai. Dalam rumah
bulat gelap. Hingga seribu tahun lamanya, hingga rumah itu menjadi batu. Batu
bernyanyi dan berair. Air yang menghidupi seratus kampung. Setahun sekali batu
itu terperciki darah ayam dan orang-orang datang untuk menempelkan telinga
mereka ke dinding batu. Sebuah ritual menyingkap dongeng. Ada tangisan
terdengar dari dalam sana, ada harapan bahwa besok dan lusa, hingga tahun
depan, air akan lancar mengalir ke kebun dan sawah. Hujan selalu tepat janji.
Menangislah
kau di sana. Jiwamu abadi. Tempelkan telingamu di sana. Jiwamu kekal.
Barangsiapa yang datang membawa bercak darah ayam, menempelkan telinganya dan
ikut meraung sedih kelak jiwanya akan bersorak diliputi sukacita sebab air
kehidupan tak henti mengalir. Dari dadamu akan tumbuh banyak telinga untuk
lebih teliti mendengar sabda angin. Dengan begitu, kaummu akan selamat dari
kegilaan dunia. Dan bersyukurlah, masih ada orang asing yang mau tersesat
bersama perempuan tua di dalam batu itu. Batu yang menangis dan melahirkan
seribu anak sungai bagi cucu-cicitmu. Barangkali kau yang membaca tulisan ini
adalah orang berikutnya yang akan hirap dalam ratapan perempuan tua dan
telanjang.
Liliba, 2015
Saya suka. Bagaimana caranya membuat pembukaan cerpen kak?
BalasHapus