#Lomba10HariNgeblog
Suatu siang ketika di kantor, ada seorang
pelanggan dari Ende (kebetulan sedang berlibur ke SoE) yang ingin mengaktifkan
kembali nomor setelah hilang bersama
dengan HPnya. Ketika sedang diproses teman CS saya yang lain, sampailah di
tahap meregistrasi ulang data pelanggan, termasuk di dalamnya adalah kolom kode
pos sesuai dengan alamat KTP. Berhubung KTP kita gak tertera kode pos. si Bapak
juga gak ngerti kode pos Ende. Tiba-tiba saya langsung nyeletuk saja,
‘86318!”
‘Oh iya, teman saya ini pernah tinggal di
Ende,’ jelas teman saya kepada si bapak yang sepertinya kaget dengan ucapan
saya.
‘kok, masih ingat yah?’ sanggah di bapak.
Saya cuma senyum-senyum saja.
Dua minggu kemudian, kejadian yang sama
berulang. Mirip. Ada pelanggan (seorang pemuda)ber-KTP Ende yang ingin
mengganti kartunya yang patah dengan nomor yang sama.
“Pernah tinggal di Ende?”
“Iyah, dulu sekolah di sana. Tinggal 3
tahun disana..’
“Syuradikara, yah?”
“Iyah…”
“Kalo kak punya rumah di Ende, dekat mana?’
“dekat Gereja Mautapaga..’ jelasnya
***
Sejak SD saya sudah cukup familiar dengan
kantor pos, dengan proses mengirim surat, sempat mengoleksi perangko juga,
hafal mati beberapa nomor kode pos di kota tempat saya pernah tinggal, dan
beberapa kota tujuan surat-surat saya.
Sejak SD, saya sudah sangat suka dengan
aktivitas ‘sahabat pena’. Aih, aih, mungkin istilah ini sudah agak kuno, disaat
teknologi internet dan mobile phone berkembang pesat. Tapi saya bangga, pernah
pernah terjun dalam era itu. Saya yang beruntung sebab anak-anak sekarang tak
lagi mengenal apa itu sahabat pena, filateli, kode pos, dll. Sayang sebab dari
hampir 5 orang sahabat pena saya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia,
kini hanya seorang saja yang masih sering kontak-kontakan, Ivon Manek kini menetap
di Kupang. Dulu ada Yustin Menanti, cs di Jayapura, ada Abie di Tana Toraja,
Merry di Maumere, dan beberapa yang saya lupa namanya di Kalimantan (Tenggarong
kalo gak salah) dan satunya di Negara, Bali. Sayang juga karena file surat
tidak saya simpan.
Dulu paling senang kalau pas pulang rumah,
Mamatua langsung menyambut dengan kalimat, ‘Adi, ada surat buatmu di atas meja.
Tadi di antar om Frans.”
Adi itu nama kesayangan saya di rumah
he-he, sebutan sayang orang-orang keluarga untuk anak/adik bungsunya. Kalau Om
Frans situ
pengantar surat di Kapan, kota kecamatan tempat saya tinggal. Oh yah, beberapa
hari yang lalu, Om Frans mampir ke kantor untuk mengurus ulang kartunya yang
hilang. Cerita nostalgia itu keluar sudah.
‘Iyah nih, Dicky, dulu kecil-kecil paling
suka pergi ke kantor pos…”
Lucu juga mengingat kejadian dulu.
Ketika melanjutkan sekolah ke Ende,
kebiasaan mengirim surat masih berlanjut, meski tak lama. Sebab ketika duduk di
kelas 2 SMA, perlahan kebiasaan itu mulai luntur. Digeser HP, digeser internet.
Lama-lama jadi kangen juga mengingat semuanya…
Sungguh ini pengalaman
yang berharga sekali.
Ah, sahabat pena,
riwayatmu kini...
Taubneno SoE, Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...