Selasa, 22 Maret 2011

Minggir, ntar kameranya saya pecahin!

Dalam sebuah tayangan TV yang saya tonton pagi ini, terkait gladi resik pernikahan seorang selebritis Jakarta dengan pengusaha asal Timor Leste ada hal yang lebih menarik perhatian saya ketimbang kedua public tokoh utamanya. Si artis dan rombongan datang ke masjid tempat akad nikahnya ketika serombongan wartawan juga sudah berjejer ingin mengambil gambar hingga berusaha melakukan wawancara. Ternyata tidak diperkenankan adanya liputan atau pres confrence hari itu. Si artis pun sudah datang dengan pengawal pribadinya. Nah, soal pengawal pribadi inilah yang menarik perhatian saya. Ada beberapa yang berseragam safari entah bodyguard bayaran atau satpam hotel atau ‘bodyguard’ jenis terbaru yang kini marak di Indonesia. Pasalnya ‘bodyguard’ jenis ini berpakaian putih-putih, semacam baju koko lengan panjang dan bertopi putih yang khas dan mencirikan sesuatu yang umumnya dipakai oleh kelompok agama tertentu. Anda mungkin bisa menebak aapa maksud saya. Sebuah tanda yang umum dan familiar. Dan lucunya perawakan mereka sama sekali berbeda dengan bodyguard kebanyakan yang tegap, tinggi, dan gak banyak ngomong tapi kehadiranya saja pun seseorang yang membayarnya sudah terlindungi. Saya bahkan menduga ‘bodyguard’ yang satu ini lebih mirip orang-orang yang biasanya bergerak dalam nama organisasi masyarakat yang membawa nama agama tertentu sebagai pembenaran aksi mereka. Yah dari pakaiannya itu tadi yang memperkuat dugaan saya.

Saya berpikir lagi, pantesan selama ini kok orang-orang seperti itu mudah muncul di TV dan koran, dengan gaya arogan, semaunya sendiri, bahkan cenderung anarkis. Lagi-lagi ‘beroperasi’ dengan simbol-simbol yang sama: berpakaian serba putih, memakai topi yg melekat di kepala-yang spesifik merujuk pada golongan agama tertentu. Akhirnya, gak bisa disalahkan juga bahwa kemudian masyarakat menaruh identitas mereka pada sesuatu yang bernama stereotipe atau pelabelan negatif, bahwa mereka yang biasanya berpakaian seperti itu sering tak ubahnya dengan seorang preman yang suka main hakim sendiri. Bahkan saya pun mengingat lagi, orang-orang dengan karakter atau tipikal yang sama jg pernah saya lihat di TV ketika kasus Monas, kasus Ciketing, kasus Temanggung, dsb terjadi. Maksud saya ketika saya melihat si ‘bodyguard’ artis itu bersikap kurang ramah kepada awak media dengan sebuah ancaman yang diteriakan lantang ‘minggiiiiir, ntar kameranya saya pecahin!’. Persepsi saya langsung mengarah pada ya itu, sekelompok orang yang menamakan dirinya ormas dan sukanya mengambil wewenang polisi, jaksa bahkan hakim itu sendiri. Mungkin bukan orang yang sama atau dari aliran kelompok yang sama, tapi dengan memakai atribut pakaian dan asesoris yang sama, maka gak bisa disalahkan juga bahwa kemudian persepsi masyarakat akan serta merta mengarah pada hal yang sama.

Begitulah faktanya jika hari ini negara masih saja lemah untuk membasmi orang atau kelompok sejenis itu, yang belakangan makin percaya diri menunjukan identitas dan jatidiri mereka meski kebanyakan adalah hal-hal yang destruktif. Yah main hakim sendiri, menebar teror, suka ngancam, melakukan tindakan anarkis, dsb. Timbul pertanyaan lagi, negara kalah dan lemah atau memang negara sengaja membiarkan kelompok-kelompok itu tetap hidup demi kepentingan politik penguasa pada saat-saat tertentu jika aksi mereka dibutuhkan untuk mengalihkan perhatian umum, misalnya. Masa sih untuk hal-hal begini polisi apalagi intelijen seringnya kecolongan? Atau memang sengaja dibiarkan kecolongan? Jejak rekam media pada kasus Monas, Ciketing bahkan Temanggung sudah menjawab itu semua meski kenyataanya aparat selalu menafikan hal itu. Dan seperti biasanya, kasus-kasus itu biasanya abu-abu lantas kabur dan lenyap tanpa ada suatu tindakan hukum yang jelas dari negara kepada pelaku.

Kembali lagi soal atribut pakaian yang menarik mata saya. Entah apa yang akan saya pikirkan, jika saya ngakunya taat beragama lantas melegitimasi diri sendiri untuk berbuat tindakan kriminal ke orang lain yang tidak sejalan/sepaham dengan saya. Itu kan konyol. Saya yang konyol he-he-he. Apalagi jika hari ini saya mengakui diri beriman hanya masih sebatas memakai baju putih, bertopi khusus, atau misalnya memakai kalung dengan salib gede di dada tapi tingkah laku saya jauh dari perbuatan yang baik dan manusiawi. Yah sama saja nol. Kayaknya ada yang salah disini. Perlu ada pembenahan dalam hal pendidikan agama dan moral sejak dini.

Jogja, 20 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...