Sabtu, 26 Maret 2011

Hujan (sebuah Cerita Mini – cermin- )

 untuk MUDAers NTT Menulis

Seperti baru saja kau terlempar dari beberapa baris keramaian semu. Di sana hanya ada sebongkah malam penuh petir dan air bah dari langit. Kau lantas memilih merapat pada teras beton yang kokoh, meringkuk dan ingin merasa seperti bayi dalam kubangan ketuban. Angin mendesir hebat. Delapan belas derajan celcius dinginnya, kata hatimu. Ahh mungkin saja. kenapa dingin selalu mengundang lapar? Terbayang es krim penuh saus stroberi yang selalu membuatmu radang tenggorokan lantas batuk hingga berminggu-minggu. Sudah pasti kau tak menyukai dokter. Bukan! Kau ingin sembuh tapi kau tak punya uang untuk itu. Yah sudahlah. Kau punya uang untuk es krim kan?

Kau bukan saja pelamun payah, tapi sedikit gila karena mulutnya selalu komat-kamit. Adakah kau mengucap mantra agar air bah dari langit ini berhenti? Dan benar saja kau ini payah. Laku aneh yang mengundang geli sejoli di sampingmu saja tak kau ketahui. Dasar gila.

‘’aku mempunyai beberapa tanaman puring yang kutanam setahun lalu. Yang kusukai, tingginya kini bahkan melampaui tubuhku’’.

sumber: asmarantika.blogspot.com
Baru saja aku memikirkan kalimat ini dan ingin menulis puring yang tumbuh di halaman sekolahku, sayangnya sudah rontok di makan ulat. Biarkan saja. Ulat yang kelaparan sepertiku saat melahap habis empat potong pizza bertabur jagung, jamur, nanas dan daging sapi. Nanas atau saus stroberi mbak Nani? Aku lapar lagi dan ingin menulis. Sebelumnya ingin memikirkan. Ingin menulis isi pikiranku, bahwasannya aku hanyalah si pelamun yang payah. Yang gila karena suka berbicara sendiri. Teringat lagi dua sesi konseling yang membosankan itu. Tapi, aku suka lukisan kupu-kupu ungu di dinding ruang praktek psikolog tua itu. Ibu Yasmi? Atau pak Lek, pria paruh baya, petugas kebersihan di kantorku? Yah sudah, tulis saja kegilaanmu.

Masih hujan. Dan aku masih ingin seperti bayi hangat dalam rahim ibuku. Itulah kenapa aku merasa nyaman jika tidur sambil meringkuk sehingga lutut benar-benar menyentuh dagu. Rasanya, aku ingin memuji Tuhan untuk mata yang masih sehat ini. Mata yang memudahkan aku melihat lalu menjadi pelamun gila. Aku ingin menjadi kawan hujan.

Kau gila. Tulis saja.

kutulis ini. dibawah hujan.

Hujan

Hujan adalah merasakan sepi berputar dalam buih-buih kopi di sudut kedai yang ramai
Hujan adalah ketika yang bercahaya adalah jalanan dan pohon-pohon kelapa
Hujan adalah merasa melayang di bawah kolong mobil-mobil tua yang terparkir rapi (yang tubuhnya terpapar air, seperti melenting dan memanggil diammu ikut berlari mencari hujan)
Karena hujan adalah merasa seperti payung berwarna pelangi yang mondar-mandir mencari pecahan dua ribuan rupiah. Merasa beruntung dan berutang pada hujan
Hujan adalah mengingat kembali kau dan aku pernah mengambil jarak antar tubuh tapi mata tak kuasa melilit rasa cemburu
Sehingga, hujan saat ini adalah berusaha untuk memejam dan membuka mata kembali, menerawang dan merasa dipermainkan situasi lantas kembali sadar semua orang mungkin melakukan hal yang sama: mencoba memaknai hujan di dalam ruang kepala masing-masing. Seperti berbunyi hujan dan lapar. Hujan dan keluarga. Hujan dan perselingkuhan. Hujan dan setumpuk tugas. Hujan dan keberuntungan. Hujan dan air mata. Hujan dan cahaya dan pohon kelapa bercahaya. Dan aku dan siapapun yang menunggunya reda.

Hujan adalah menunggunya reda dan memikirkan ulang pengertian hujan- yang selalu ingin dibaca mata dan hati….

***

Aku ingin menulis lagi: aku masuk angin gara-gara hujan…


Ahh…

Jogja, 25 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...