(sebuah resensi gagal!)
Saya termasuk salah satu penggemar karya Ayu Utami dan
kemudian paling bergegas untuk melakukan pre order ke penerbit seminggu sebelum
novel terbarunya Cerita Cinta Enciro dirilis (sebab kalau mau menunggu novel
ini masuk ke Gramedia Kupang, tentunya akan sangaat lama!).
CCE sudah menarik perhatian saya bahkan dari covernya saja,
yakni bahwa huru-huruf CCE dibentuk dari gambar lelaki berpakaian tentara,
wanita dan sepatu pantovel. Tulisan-tulisan Ayu dalam pikiranku, akhirnya, kok identik yah dengan
militerisme (dari Saman, Larung, Eks Parasit Lajang, Bilangan Fu, hingga
Manjali dan Cakrabirawa.) Ia begitu kritis dengan kesewenangan yang
dipercayanya, yang selama ini terjadi di Republik ini. Selain tentunya dengan
topik berbau feminism, tuhan, lembaga perkawinan, yang sama seringnya
dimunculkan selain topik militerisme tadi. Itu yang kemudian membuatnya menjadi
menarik juga juga orisinil, diantara novelis-novelis lainnya.
Ketika di bab-ba awal CCE, saya kok merasa buku ini begitu
‘ringan’ ketimbang karya-karya lainnya (Eks Parasit Lajang juga, keknya… J). Tapi benar lho,
‘ringan’ disini mungkin karena novel ini based
on true story, pertama. Kedua, mungkin karena di pengenalan tokoh-tokoh di
awal, tidak ‘sebasurd’ di awal hingga pertengahan Larung, misalnya (yang perlu
saya baca ulang-ulang untuk memahaminya. Atau karena otak saya yang tak mampu
menjangkaunya? He-he-he).
‘CCE adalah kisah
nyata seorang anak yang lahir bersamaan dengan Pemberontakan PRRI di Sumatera
Barat. Ia menjadi bayi gerilya sejak usia sayu hari. Kerabatnya tak lepas dari
peristiwa’65. Ia menjadi aktivis di ITB pada era Orde Baru, sebelum gerakan
mahasiswa dipatahkan. Merasa dikebiri rezim, ia merindukan tumbangnya Soeharto.
Akhirnya ia melihat peristiwa itu bersamaan dengan ia melihat perempuan yang
menghadirkan kembali sosok yang ia cintai sekaligus hindari: ibunya.’
Begitu synopsis yang termuat di cover belakang buku.
Tokoh utamanya Enrico meski bukan nama sebenarnya. Enrico
hanya perwujudan dari kecintaan ibunya Syrnie Masmirah terhadap penyanyi Italia
bernama Enrico Carusso bahwa sebagaimana pengakuan Carusso jika setiap kali
menyanyi yang dibayangkan hanyalah wajah ibunya maka Syrnie pun ingin agar
anaknya Enrico seperti Enrico Caruso, yang mencintai dirinya habis-habisan.
Gayung pun awalnya bersambut sebab Enrico juga mencintai ibunya dengan
sedemikian hebat (lewat pantovel kokoh milik ibunya yang kerap dia semir). Ia
terbiasa melakukan apapun sedari kecil hanya untuk menyenangkan hati ibunya.
Diam-diam ia mengharapkan pengakuan cinta itu juga dari ibunya. Namun sayang,
keadanya kemudian menjadi terbalik. Cinta Syrnie egois, ia cuma ingin dicintai
anaknya makanya ia ‘mengekang’ anaknya dari pengaruh lingkungan luar (apalagi
setelah kematian anak perempuan sulungnya, Sanda, kakak Enrico). Sebab ia tak
ingin cinta anaknya padanya berubah. Mulailah periode pengekangan ini berujung
kepada pembangkangan sang anak. Ia merasa dibatasi ibunya. Pada kondisi ini, ia
dan ibunya sama-sama merasa cinta mereka bertepuk sebelah tangan.
Sebagai anak kolong ia tentunya ingin keduanya,
mencintai-dicintai tapi juga bisa bisa hidup bebas normal sebagaimana anak-anak
umumnya. Pada akhirnya ia tumbuh menjadi anak yang liar dimata ibunya (tapi
tidak dimata ayahnya, sebab sang ayah sangat netral cintanya, baik terhadap
anaknya maupun terhadap istrinya). Enrico akhirnya juga merasa ada jarak,
ketika akhirnya ibunya yang Protestan menerima tawaran-tawaran dari Saksi
Yewuha untuk bersiap diri sebelum datangnya Kiamat, sebuah sekte yang
berkembang di tahun 70-an. Sang anak merasa ibunya kian jauh setelah bergabung
dengan Saksi Yehuwa, tapi pada kondisi yang sama, sebenarnya sang ibu lewat
Saksi Yehuwa, ingin mengajak Enriconya bertobat, kembali pada ‘jalan yang
benar’, dan mengembalikan cinta anaknya hanya untuk dirinya semata.
Ia (juga ayahnya) akhirnya dibaptis di sekte baru ibunya,
tapi sikap pemberontak tak begitu saja dilepaskanya. Ia mendapatkan
kebebasannya 100%, termasuk kebebasannya untuk menikmati kehidupan seks tanpa
terikat perkawinan, apalagi sampai punya anak. Enrico yang kuliah ITB dan aktif
dalam gerakan kampus untuk memprotes kesewangan yang kerap ditunjukkan rezim
Orde Baru waktu itu. Meski akhirnya toh mereka dikebiri juga. Hingga akhirnya
menemukan kebebasan lain pasca dikebiri orba di dalam dunia fotografi dan
pemanjatan. Sampai akhirnya menemukan A (yang akhirnya ketahuan kalo itu Ayu
Utami sendiri), perempuan yang dianggap Enrico mirip Syrnie ibunya (sebelum
bertemu Saksi Yehuwa). Ia yang dulu mengharapkan cinta ibu, akhirnya
mendapatkannya dari A. Ia puas, ia terlena, sampai pada satu titik dimana
perilakunya itu diprotes A. Nyatanya, A yang anak tunggal sangat mengidolakan
ibunya, dan mengharapkan agar Enrico tak boleh manja, karena ia ingin Enrico
menggantikan posisi ibunya (yang bisa mencintainya). Terkuak juga kemudian
kenapa A protes pada sifat manja Enrico, sebab A pun kepengen berada di posisi
itu!
Tapi kenapa A mengharapkan Enrico pacarnya menjadi seperti
ibunya, bukan seperti ayahnya?
“Mendadak aku tahu, bahwa yang diinginkan A terhadpa aku bukan menggantikan ayahnya.
Tetapi menggantikan ibunya! Dulu A frustrasi, ia tidak ingin jadi ibuku. Sebab,
ia juga ingin jadi anak-anak terus. Kanak-kanak dalam dirinya tidak membutuhkan
ayah- sebab, kata dia, darah monster ayahnya sudah mengalir dalam dirinya.
‘Monster’, jawabannya.
Disinilah konflik CCE menjadi begitu menarik. Semenarik yang
Ayu tulis,dengan bumbu pergolakan PRRI atau Gestapu atau pembredelan kampus
oleh rezim Orba. Tentang cinta anak pada ibunya, cinta yang tanpa pamrih juga
cinta yang egois, cinta yang selalu ada obyektivikasi, selalu ada keinginan
untuk menguasai. Bagaimana perzinahan dilihat dari kacamata lain (selain
menurut Sepuluh Perintah Allah), semacam sebuah standar ganda. Merujuk pada
Alkibat, praktik seksual selalu berubah-ubah praktiknya dari zaman ke zaman.
Misalnya poligami yang wajar di Perjanjian Lama tapi tidak di Perjanjian Baru.
Atau ketika Sarai diserhakan Abraham untuk tidur dengan Firaun agar mereka
selamat, tapi ketika perbuatan itu hendak dilakukan di tanah asing lain, mereka
di tolong oleh Tuhan. Jadi moral ceritanya; praktik zaman berubah, tapi yang
penting aalah: bukan bagaimana Tuhan menghukum, tapi bagaimana Tuhan
menyelamatkan. Begitu tulis Ayu. Ia menambahkan, kita tidak bisa melihat seks
secara hitam putih dan berdasarkan rumusan hukum saja. Paling tidak, dalam
Alkibat ada dua jalur: hukum dan kisah. Hukumnya boleh hitam putih, tapi
kisahnya tidak pernah begitu. Pengalaman manusia jauh lebih rumit daripada
hukum.
Lalu bagaimana ia berkilah tentang dosa?
Ayu menulis, “Tentu saja semua manusia berdosa. Justru
karena kita semua berdoa, seharusnya kita tidak lagi terobsesi pada doa dan
tidak dosa, melainkan lebih menggunakan energy untuk berbuat baik bagi orang
lain.” (Hal. 205)
Begitulah Ayu, ia selalu kritis, dengan pendekatan kultural,
filosofis maupun teologis. Membuat Cerita cinta Enrico menjadi lebih menarik
dan sangat Indonesia (lihat bagaimana Syrnie yang pluralis, berayahkah seorang
Muslim dan ibu yang Protestan, dibesarkan dalam tradisi zending, kemudian
menikah dengan Irsad seorang tentara, muslim yang juga sama pluralisnya.)
Selamat membaca. Percayalah bahwa membaca bukunya jauh lebih
menarik, lebih pas, ketimbang ulasan saya ini. Sebab disini saya hanya menulis
sepintas dari sudut pandang saya sendiri. Silahkan beli, silahkan baca.
Mungkinkah anda salah satu yang mengenal Ayu dalam buku Eks
Parasit Lajang dan kini protes padanya sebab ia tak lagi konsisten soal hidup
lajang?
Mungkin disinilah misteri hidup. Merujuk pada konsep
‘praktik zaman’, mungkin saatnya sudah berubah, ketika Ayu dulu (mungkin) punya
cara pandang sendiri mengenai kehidupan lajang, tapi kini di zaman barunya, ia
malah memutuskan menikah, juga dengan cara pandang sendirinya yang pasti akan
berbeda dengan perspektif arus utama. Kedepannya, masih ada banyak misteri…
Btw, selamat yah mbak Ayu, akhirnya sudah menikah 17 Agustus
2011 lalu di kapel Regina Pacis, Bogor dengan ‘Enrico’nya. (#barutahu)
Taubneno, Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...