Senin, 13 Februari 2012

Cerita Cinta Enrico: Pantovel Gagah dan Pemaknaan Obyektivikasi Cinta

 (sebuah resensi gagal!)

Saya termasuk salah satu penggemar karya Ayu Utami dan kemudian paling bergegas untuk melakukan pre order ke penerbit seminggu sebelum novel terbarunya Cerita Cinta Enciro dirilis (sebab kalau mau menunggu novel ini masuk ke Gramedia Kupang, tentunya akan sangaat lama!).
CCE sudah menarik perhatian saya bahkan dari covernya saja, yakni bahwa huru-huruf CCE dibentuk dari gambar lelaki berpakaian tentara, wanita dan sepatu pantovel. Tulisan-tulisan Ayu dalam pikiranku, akhirnya, kok identik yah dengan militerisme (dari Saman, Larung, Eks Parasit Lajang, Bilangan Fu, hingga Manjali dan Cakrabirawa.) Ia begitu kritis dengan kesewenangan yang dipercayanya, yang selama ini terjadi di Republik ini. Selain tentunya dengan topik berbau feminism, tuhan, lembaga perkawinan, yang sama seringnya dimunculkan selain topik militerisme tadi. Itu yang kemudian membuatnya menjadi menarik juga juga orisinil, diantara novelis-novelis lainnya.
Ketika di bab-ba awal CCE, saya kok merasa buku ini begitu ‘ringan’ ketimbang karya-karya lainnya (Eks Parasit Lajang juga, keknya… J). Tapi benar lho, ‘ringan’ disini mungkin karena novel ini based on true story, pertama. Kedua, mungkin karena di pengenalan tokoh-tokoh di awal, tidak ‘sebasurd’ di awal hingga pertengahan Larung, misalnya (yang perlu saya baca ulang-ulang untuk memahaminya. Atau karena otak saya yang tak mampu menjangkaunya? He-he-he).
‘CCE adalah kisah nyata seorang anak yang lahir bersamaan dengan Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat. Ia menjadi bayi gerilya sejak usia sayu hari. Kerabatnya tak lepas dari peristiwa’65. Ia menjadi aktivis di ITB pada era Orde Baru, sebelum gerakan mahasiswa dipatahkan. Merasa dikebiri rezim, ia merindukan tumbangnya Soeharto. Akhirnya ia melihat peristiwa itu bersamaan dengan ia melihat perempuan yang menghadirkan kembali sosok yang ia cintai sekaligus hindari: ibunya.’ 
Begitu synopsis yang termuat di cover belakang buku.
Tokoh utamanya Enrico meski bukan nama sebenarnya. Enrico hanya perwujudan dari kecintaan ibunya Syrnie Masmirah terhadap penyanyi Italia bernama Enrico Carusso bahwa sebagaimana pengakuan Carusso jika setiap kali menyanyi yang dibayangkan hanyalah wajah ibunya maka Syrnie pun ingin agar anaknya Enrico seperti Enrico Caruso, yang mencintai dirinya habis-habisan. Gayung pun awalnya bersambut sebab Enrico juga mencintai ibunya dengan sedemikian hebat (lewat pantovel kokoh milik ibunya yang kerap dia semir). Ia terbiasa melakukan apapun sedari kecil hanya untuk menyenangkan hati ibunya. Diam-diam ia mengharapkan pengakuan cinta itu juga dari ibunya. Namun sayang, keadanya kemudian menjadi terbalik. Cinta Syrnie egois, ia cuma ingin dicintai anaknya makanya ia ‘mengekang’ anaknya dari pengaruh lingkungan luar (apalagi setelah kematian anak perempuan sulungnya, Sanda, kakak Enrico). Sebab ia tak ingin cinta anaknya padanya berubah. Mulailah periode pengekangan ini berujung kepada pembangkangan sang anak. Ia merasa dibatasi ibunya. Pada kondisi ini, ia dan ibunya sama-sama merasa cinta mereka bertepuk sebelah tangan.
Sebagai anak kolong ia tentunya ingin keduanya, mencintai-dicintai tapi juga bisa bisa hidup bebas normal sebagaimana anak-anak umumnya. Pada akhirnya ia tumbuh menjadi anak yang liar dimata ibunya (tapi tidak dimata ayahnya, sebab sang ayah sangat netral cintanya, baik terhadap anaknya maupun terhadap istrinya). Enrico akhirnya juga merasa ada jarak, ketika akhirnya ibunya yang Protestan menerima tawaran-tawaran dari Saksi Yewuha untuk bersiap diri sebelum datangnya Kiamat, sebuah sekte yang berkembang di tahun 70-an. Sang anak merasa ibunya kian jauh setelah bergabung dengan Saksi Yehuwa, tapi pada kondisi yang sama, sebenarnya sang ibu lewat Saksi Yehuwa, ingin mengajak Enriconya bertobat, kembali pada ‘jalan yang benar’, dan mengembalikan cinta anaknya hanya untuk dirinya semata.
Ia (juga ayahnya) akhirnya dibaptis di sekte baru ibunya, tapi sikap pemberontak tak begitu saja dilepaskanya. Ia mendapatkan kebebasannya 100%, termasuk kebebasannya untuk menikmati kehidupan seks tanpa terikat perkawinan, apalagi sampai punya anak. Enrico yang kuliah ITB dan aktif dalam gerakan kampus untuk memprotes kesewangan yang kerap ditunjukkan rezim Orde Baru waktu itu. Meski akhirnya toh mereka dikebiri juga. Hingga akhirnya menemukan kebebasan lain pasca dikebiri orba di dalam dunia fotografi dan pemanjatan. Sampai akhirnya menemukan A (yang akhirnya ketahuan kalo itu Ayu Utami sendiri), perempuan yang dianggap Enrico mirip Syrnie ibunya (sebelum bertemu Saksi Yehuwa). Ia yang dulu mengharapkan cinta ibu, akhirnya mendapatkannya dari A. Ia puas, ia terlena, sampai pada satu titik dimana perilakunya itu diprotes A. Nyatanya, A yang anak tunggal sangat mengidolakan ibunya, dan mengharapkan agar Enrico tak boleh manja, karena ia ingin Enrico menggantikan posisi ibunya (yang bisa mencintainya). Terkuak juga kemudian kenapa A protes pada sifat manja Enrico, sebab A pun kepengen berada di posisi itu!
Tapi kenapa A mengharapkan Enrico pacarnya menjadi seperti ibunya, bukan seperti ayahnya?
“Mendadak aku tahu, bahwa yang diinginkan  A terhadpa aku bukan menggantikan ayahnya. Tetapi menggantikan ibunya! Dulu A frustrasi, ia tidak ingin jadi ibuku. Sebab, ia juga ingin jadi anak-anak terus. Kanak-kanak dalam dirinya tidak membutuhkan ayah- sebab, kata dia, darah monster ayahnya sudah mengalir dalam dirinya.
‘Monster’, jawabannya.
Disinilah konflik CCE menjadi begitu menarik. Semenarik yang Ayu tulis,dengan bumbu pergolakan PRRI atau Gestapu atau pembredelan kampus oleh rezim Orba. Tentang cinta anak pada ibunya, cinta yang tanpa pamrih juga cinta yang egois, cinta yang selalu ada obyektivikasi, selalu ada keinginan untuk menguasai. Bagaimana perzinahan dilihat dari kacamata lain (selain menurut Sepuluh Perintah Allah), semacam sebuah standar ganda. Merujuk pada Alkibat, praktik seksual selalu berubah-ubah praktiknya dari zaman ke zaman. Misalnya poligami yang wajar di Perjanjian Lama tapi tidak di Perjanjian Baru. Atau ketika Sarai diserhakan Abraham untuk tidur dengan Firaun agar mereka selamat, tapi ketika perbuatan itu hendak dilakukan di tanah asing lain, mereka di tolong oleh Tuhan. Jadi moral ceritanya; praktik zaman berubah, tapi yang penting aalah: bukan bagaimana Tuhan menghukum, tapi bagaimana Tuhan menyelamatkan. Begitu tulis Ayu. Ia menambahkan, kita tidak bisa melihat seks secara hitam putih dan berdasarkan rumusan hukum saja. Paling tidak, dalam Alkibat ada dua jalur: hukum dan kisah. Hukumnya boleh hitam putih, tapi kisahnya tidak pernah begitu. Pengalaman manusia jauh lebih rumit daripada hukum.
Lalu bagaimana ia berkilah tentang dosa?
Ayu menulis, “Tentu saja semua manusia berdosa. Justru karena kita semua berdoa, seharusnya kita tidak lagi terobsesi pada doa dan tidak dosa, melainkan lebih menggunakan energy untuk berbuat baik bagi orang lain.” (Hal. 205)
Begitulah Ayu, ia selalu kritis, dengan pendekatan kultural, filosofis maupun teologis. Membuat Cerita cinta Enrico menjadi lebih menarik dan sangat Indonesia (lihat bagaimana Syrnie yang pluralis, berayahkah seorang Muslim dan ibu yang Protestan, dibesarkan dalam tradisi zending, kemudian menikah dengan Irsad seorang tentara, muslim yang juga sama pluralisnya.)
Selamat membaca. Percayalah bahwa membaca bukunya jauh lebih menarik, lebih pas, ketimbang ulasan saya ini. Sebab disini saya hanya menulis sepintas dari sudut pandang saya sendiri. Silahkan beli, silahkan baca.
Mungkinkah anda salah satu yang mengenal Ayu dalam buku Eks Parasit Lajang dan kini protes padanya sebab ia tak lagi konsisten soal hidup lajang?
Mungkin disinilah misteri hidup. Merujuk pada konsep ‘praktik zaman’, mungkin saatnya sudah berubah, ketika Ayu dulu (mungkin) punya cara pandang sendiri mengenai kehidupan lajang, tapi kini di zaman barunya, ia malah memutuskan menikah, juga dengan cara pandang sendirinya yang pasti akan berbeda dengan perspektif arus utama. Kedepannya, masih ada banyak misteri…

Btw, selamat yah mbak Ayu, akhirnya sudah menikah 17 Agustus 2011 lalu di kapel Regina Pacis, Bogor dengan ‘Enrico’nya. (#barutahu)

Taubneno, Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...