Minggu, 29 Januari 2012

Yuk, Berbudaya di Jalanan


Minggu 22 Desember 2012, menjadi hari penting bagi alam sadar kita masyarakat Indonesia bahwa beraktivitas sebagai pejalan kaki di negeri ini begitu besar resikonya. Ngeri membayangkan bagi saya (yang kemana-mana keseringan berjalan kaki, selain naik angkutan umum, sebab saya belum punya motor) berada di tempat kejadian dan melihat langsung, sebab menonton tayangannya saja di TV bikin saya miris.
Saya ingat betul, pernah menetap 6 tahun di kota Jogja sebagai anak kos yang keseringan berjalan kaki, sebab pikir saya, itu menyehatkan jantung saya (selain upaya menghibur diri sebab saya tak punya uang untuk mengkredit sebuah motor he-he). Kenyataanya kota Jogja itu kecil, sehingga mudah bagi saya untuk mengakses ke kampus, ke mall, ke gereja, ke mana saja, yah enaknya memang jalan kaki. Teman-teman saya sampai heran, kok bisa yah? Keciiil, jawab saya. Beruntung karena saya terlahir sebagai bolang, di kota kecamatan kecil di Mollo yang terbiasa kemana-mana yah dengan berjalan kaki. Saat tinggal di Ende, saya terbiasa mondar mandir rute asrama Syuradikara di Jalan Wirajaya menuju rumah om saya di jalan Sam Ratulangi dekat LP Ende. Belum lagi rute asrama pertokoan di jalan Kelimutu, keciiil. (#eeh anak gaul Pasar Senggol, yah? Ckckck).

Tak ada ruginya kan? 

Kalau nonton film, saya selalu terpukau dengan kebiasaan orang-orang di Tokyo atau Manhattan, misalnya, yang sibuk, salah satunya bersibuk ria di jalanan. Ketika lampu merah menyala, ratusan manusia menyemut sekedar untuk menyebrang. Sebagai penotnon rasanya wooowww! Bayangkan bahwa di Negara maju saja, aktivitas jalan kaki masih menjadi pilihan sadar yang penting bagi mereka. Semacam sudah membudaya. Toh menyehatkan kan? 

Untungnya, penyelenggara pemerintahan mereka begitu paham untuk memfasilitasi ‘budaya jalan kaki’ warganya. Area pedestrian dibikin mulus dan lebar (juga bersih), semulus, selebar  dan sebersih jalanan untuk kendaraan umum/pribadi. Namun pada kondisi yang bertolak belakang, mungkin ini kondisinya sebagian besar masyarakat kita. Sebab hanya di Indonesia, trotoar dipakai sebagai lahan parkir, buat jalan pintas para pengendara sepeda motor dikala macet, buat jualan pedagang kaki lima, buat macam-macam (seolah) yang penting bukan buat para pejalan kaki. 

Kejadian tragis Minggu siang di halte Tugu Tani Jakarta, mungkin hanyalah satu diantara seribu potret buram yang didalamnya tergambar ketidakadilan yang dialami oleh para pejalan kaki. 

***

Saya masih ingat betul, dua hari saja sebelum tragedy Xenia menabrak sejumlah pejalan kaki di Jakarta, saya masih memantau dan ikutan berkomentar di sebuah ‘kicauan’ novelis Ayu Utami di akun twitternya @BilanganFu. Ayu berkiau, ‘Siapakah musuh utama pejalan kaki? @JalanKaki’ dan ‘Siapakah sahabat utama pejalan kaki? @JalanKaki’

FYI, @JalanKaki adalah akun twitter dari sebuah komunitas masyarakat pejalan kaki di kota Jakarta.
Di blog @JalanKaki http://jalankakijakarta.wordpress.com mereka mendeskripsikan komunitas mereka sebagai sebuah usaha kecil bersama untuk semakin mengenal kota Jakarta dan menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih menyenangkan. Menarik yah.

Dari kicauan Ayu itu, banyak sekali komentarnya terkait musuh dan sahabat pejalan kaki, namun anehnya tak ada satupun (termasuk saya) yang berkomentar bahwa musuh pejalan kaki itu ternyata adalah ‘narkoba atau pengguna narkoba’ dan ‘mobil yang kejam’. Yah, sebab kejadian Minggu Tragis di Tugu Tani, akhirnya membuka mata kita, bahwa musuh pejalan kaki ternyata juga sopir mabuk yang bikin mobil yang dikendarainya jadi kejam sama pejalan kaki.


Ah, entah sampai kapan kita harus terus-terusan menaruh harap buat para penyelenggara pemerintahan kita, dan tak lupa juga untuk menaruh harap pada kesadaran kita masing-masing yang separuh hidup kita ada di jalanan (#eh bukan sebagai anak jalanan yah? Lol. Maksudnya yang  terbiasa beraktivitas rumah-kantor/sekolah/kampus pp). Kalau soal keselamatan kita dan orang lain di jalan, itu semata karena kunci yang kita pakai adalah kehati-hatian, kedisiplinan, tanggungjawab dan saling menghargai sesama pengguna jalan. Kembali lagi ke budaya sebagaimana budaya kaum urban dibawah beton kota Tokyo atau new York. Budaya kita sebagai pejalanan kaki sekaligus pengendara kendaraan bermotor. Silahkan tanya ke hati kecil kita, ‘sudahkah saya hati-hati, disiplin, santun dan menghargai orang lain di jalanan?’
Tak bagus juga kalau kita saja yang berteriak-teriak kalau pemerintah tak becus bikin jalan atau pedestrian bagus, dan disaat yang sama kita malah gak becus berkendara.

Mungkin kita juga perlu menonton tindakan yang terbilang ‘nekad’ dari seorang ibu pejalan kaki di Ibu Kota berikut. Nekad sekaligus mulia. Jadi ingat kampanye save our pedestrian yang dulu digalakan chanel music VH1 (entah sekarang gimana, karena lama sudah tidak lagi nonton VH1). 
video diembed dari youtube.com 

Salam jalan kaki…

(Taubneno Soe, 28 Januari 2012)
#Lomba10HariNgeblog komunitas Blogger NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...