Minggu 22 Desember 2012, menjadi hari penting bagi alam
sadar kita masyarakat Indonesia bahwa beraktivitas sebagai pejalan kaki di
negeri ini begitu besar resikonya. Ngeri membayangkan bagi saya (yang
kemana-mana keseringan berjalan kaki, selain naik angkutan umum, sebab saya
belum punya motor) berada di tempat kejadian dan melihat langsung, sebab
menonton tayangannya saja di TV bikin saya miris.
Saya ingat betul, pernah menetap 6 tahun di kota Jogja
sebagai anak kos yang keseringan berjalan kaki, sebab pikir saya, itu
menyehatkan jantung saya (selain upaya menghibur diri sebab saya tak punya uang
untuk mengkredit sebuah motor he-he). Kenyataanya kota Jogja itu kecil,
sehingga mudah bagi saya untuk mengakses ke kampus, ke mall, ke gereja, ke mana
saja, yah enaknya memang jalan kaki. Teman-teman saya sampai heran, kok bisa
yah? Keciiil, jawab saya. Beruntung karena saya terlahir sebagai bolang, di
kota kecamatan kecil di Mollo yang terbiasa kemana-mana yah dengan berjalan kaki.
Saat tinggal di Ende, saya terbiasa mondar mandir rute asrama Syuradikara di
Jalan Wirajaya menuju rumah om saya di jalan Sam Ratulangi dekat LP Ende. Belum
lagi rute asrama pertokoan di jalan Kelimutu, keciiil. (#eeh anak gaul Pasar
Senggol, yah? Ckckck).
Tak ada ruginya kan?
Kalau nonton film, saya selalu terpukau dengan kebiasaan
orang-orang di Tokyo atau Manhattan, misalnya, yang sibuk, salah satunya
bersibuk ria di jalanan. Ketika lampu merah menyala, ratusan manusia menyemut
sekedar untuk menyebrang. Sebagai penotnon rasanya wooowww! Bayangkan bahwa di
Negara maju saja, aktivitas jalan kaki masih menjadi pilihan sadar yang penting
bagi mereka. Semacam sudah membudaya. Toh menyehatkan kan?
Untungnya, penyelenggara pemerintahan mereka begitu paham
untuk memfasilitasi ‘budaya jalan kaki’ warganya. Area pedestrian dibikin mulus
dan lebar (juga bersih), semulus, selebar
dan sebersih jalanan untuk kendaraan umum/pribadi. Namun pada kondisi
yang bertolak belakang, mungkin ini kondisinya sebagian besar masyarakat kita.
Sebab hanya di Indonesia, trotoar dipakai sebagai lahan parkir, buat jalan
pintas para pengendara sepeda motor dikala macet, buat jualan pedagang kaki
lima, buat macam-macam (seolah) yang penting bukan buat para pejalan kaki.
Kejadian tragis Minggu siang di halte Tugu Tani Jakarta,
mungkin hanyalah satu diantara seribu potret buram yang didalamnya tergambar
ketidakadilan yang dialami oleh para pejalan kaki.
***
Saya masih ingat betul, dua hari saja sebelum tragedy Xenia
menabrak sejumlah pejalan kaki di Jakarta, saya masih memantau dan ikutan
berkomentar di sebuah ‘kicauan’ novelis Ayu Utami di akun twitternya
@BilanganFu. Ayu berkiau, ‘Siapakah musuh utama pejalan kaki? @JalanKaki’ dan
‘Siapakah sahabat utama pejalan kaki? @JalanKaki’
FYI, @JalanKaki adalah akun twitter dari sebuah komunitas
masyarakat pejalan kaki di kota Jakarta.
Di blog @JalanKaki http://jalankakijakarta.wordpress.com mereka mendeskripsikan komunitas mereka sebagai sebuah usaha kecil
bersama untuk semakin mengenal kota Jakarta dan menjadikan Jakarta sebagai kota
yang lebih menyenangkan. Menarik yah.
Dari kicauan Ayu itu, banyak sekali komentarnya
terkait musuh dan sahabat pejalan kaki, namun anehnya tak ada satupun (termasuk
saya) yang berkomentar bahwa musuh pejalan kaki itu ternyata adalah ‘narkoba
atau pengguna narkoba’ dan ‘mobil yang kejam’. Yah, sebab kejadian Minggu
Tragis di Tugu Tani, akhirnya membuka mata kita, bahwa musuh pejalan kaki
ternyata juga sopir mabuk yang bikin mobil yang dikendarainya jadi kejam sama
pejalan kaki.
Ah, entah sampai kapan kita harus terus-terusan
menaruh harap buat para penyelenggara pemerintahan kita, dan tak lupa juga
untuk menaruh harap pada kesadaran kita masing-masing yang separuh hidup kita
ada di jalanan (#eh bukan sebagai anak jalanan yah? Lol. Maksudnya yang terbiasa beraktivitas
rumah-kantor/sekolah/kampus pp). Kalau soal keselamatan kita dan orang lain di
jalan, itu semata karena kunci yang kita pakai adalah kehati-hatian,
kedisiplinan, tanggungjawab dan saling menghargai sesama pengguna jalan. Kembali
lagi ke budaya sebagaimana budaya kaum urban dibawah beton kota Tokyo atau new
York. Budaya kita sebagai pejalanan kaki sekaligus pengendara kendaraan
bermotor. Silahkan tanya ke hati kecil kita, ‘sudahkah saya hati-hati,
disiplin, santun dan menghargai orang lain di jalanan?’
Tak bagus juga kalau kita saja yang
berteriak-teriak kalau pemerintah tak becus bikin jalan atau pedestrian bagus,
dan disaat yang sama kita malah gak becus berkendara.
Mungkin kita juga perlu menonton tindakan yang
terbilang ‘nekad’ dari seorang ibu pejalan kaki di Ibu Kota berikut. Nekad
sekaligus mulia. Jadi ingat kampanye save
our pedestrian yang dulu digalakan chanel music VH1 (entah sekarang gimana,
karena lama sudah tidak lagi nonton VH1).
video diembed dari youtube.com
Salam jalan kaki…
(Taubneno Soe, 28
Januari 2012)
#Lomba10HariNgeblog komunitas Blogger NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...