Senin, 10 Oktober 2011

Pesona Madre dan Keniscayaan Semangat Pluralisme di Indonesia



Akhirnya oh akhirnya saya bisa juga baca buku terbarunya Dewi Lestari alias Dee, Madre. Agak telat juga karena buku ini telat masuk ke toko-toko buku di Kupang. Untungnya ada kakak saya Romo Sipri yang kebetulan ke Bali, makanya bisa dimintai tolong beli Madre di sana. 

Saya adalah salah satu dari banyak orang (yg saya yakini) sangat menggemari setiap karya Dee semenjak kemunculan pertamanya lewat Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova: Akar dan Supernova: Petir, lantas ada Filosofi Kopi, Rectroverso, Perahu kertas  dan buku ketujuh, Madre, yang merupakan kumpulan cerpen dan prosa pendek (selain Filosofi Kopi dan Rectoverso). Semuanya bagus, menunjukan identitas seorang Dee yang penuh pesona, selalu hadir dengan tema yang unik dan kompleks. Narasinya cerdas dan segar pula. Dari kesemuanya jujur saya paling jatuh cinta dengan Filosofi Kopi, kumpulan cerita yang hangat dan manis, cieeh...tapi benar lho, saya sampai berkali-kali baca Filkop karena ketangkasan Dee bercerita juga isinya yang bernas. Seperti secangkir kopi: mungil, pahit, manis, harum, bikin mata melek dan terus larut dalam proses refleksi dari setiap cerita yang bermakna. Itu menurut saya. 

Dee selalu membuat hati saya tertawan, lewat karya-karyanya. Misalnya ketika ia mengungkapkan perspektifnya tentang perbedaan etnik, budaya dan iman dalam seri Supernova, itu sangat wow!! Atau tentang novel Perahu Kertas yang dikemas ala teenlith tapi padat berisi tak asal mengumbar cerita cinta anak kuliahan, tapi kuat dalam penggambaran karakter Kugy dan Keenan dua manusia ajaib, yang dinarasikan Dee dengan sangat ajib nan brilian. Lagi-lagi Dee kembali memperlihatkan kepiawaiannya bermain kata. Cerdas. Cerkas. 

Dan kini lewat Madre, yang langsung mengingatkan saya akan Filkop, pengemasannya mirip, lagi-lagi cerdas dan bernas dalam bercerita. Madre tak hanya mau bercerita tentang usaha sejumlah tokoh untuk menghidupkan lagi sebuah usaha pembuatan roti yang sempat mati suri berkat masih tersimpannya warisan adonan biang roti selama puluhan tahun, tapi Dee juga menampilkan dengan baik karakter dari setiap tokoh yang merepresentasikan sejumlah perbedaan baik suku, agama, budaya,  gaya hidup, kelas sosial, dsb seperti juga keragaman yg ada di Filkop atau misalanya di Supernova. Dee mau menunjukan bahwa dengan berbeda bukan berarti menjadi masalah tapi malah bisa menjadi keuntungan tersendiri karena semua orang mau berjuang bersama demi kesejahteraan.  

Suatu harmoni yang diciptakan dengan sangat baik dan mulia misinya, misalnya tentang pendiri Tan De Bakker, Tan Sin Gie, yang keturunan Cina menikah dengan wanita keturunan India, lantas anaknya menikah dengan orang Manado dan punya cucu, Tansen, yang jatuh cinta dengan gadis keturunan Cina pula. Disisi lain pemilik Tan De Bakker pun mempekerjakan lima karyawan paling setia yg juga merepresentasikan mereka datang dari latar belakang berbeda (jika dilihat dari namanya) ada bu Cory, pak Hadi, bu Dedeh, bu Sum dan Pak Joko. Meski tidak eksplisit digambarkan, namun saya duga dari namanya saja bahwa paling gak ada orang Jawa dan Sunda disitu, dan bu Cory mungkin Kristen. Atau pak Tan tua kayaknya beraliran Kong Hu Cu dengan istrinya yang dari Lahore itu pasti Hindu. Maka secara keseluruhan Madre adalah Indonesia itu sendiri. Beragama warna. 

Seperti kata Sitok Srengenge, menghargai keragaman dan menghormati perbedaan adalah keniscayaan yang berakar kuat dalam ranah sejarah, bisa menjadi modal amat berharga bagi upaya perwujudan hidup yang kaya dan indah.

Sangat pas untuk menggetarkan kembali, saya rasa, semangat kebersamaan dalama keberagamaman Bangsa Indonesia. Bagaimana meski berbeda suku, agama, juga rentang usia namun jika dikerjakan bersama dan kreativitas penuh maka hasilnya toh akan baik. Misalnya, akhirnya Tan De Bakker yang sempat mati suri dibangun kembali oleh Tansen sang generasi penerus bersama Mei, kekasihnya, dengan manajemen baru tapi tak menghilangkan sama sekali citarasa klasik dari roti-roti yang dicipkatan pak Tan tua. Bagaimana kelima karyawan Tan de Bakker meski sudah sepuh tapi masih diminta untuk membantu. Sungguh sebuah kreativitas dan kerjasama lintas generasi yang baik demi kembali kokoh usaha tersebut.
Madre terdiri dari 13 karya cerpen dan prosa pendek selama kurun waktu lima tahun terakhir. Temanya beragam, mulai dari perjuangan menghidupkan kembali toko roti kuno, dilema antara cinta dan persahabatan (cerpen Menunggu Layang-layang dan Guruji), dialog antara ibu dan janin (Rimba Amniotik), reinkarnasi (Tanyaku Pad Bambu) hingga tema kemerdekaan sejati (prosa pendek Percakapan Di Sebuah Jembatan).
Jika Filosofi Kopi adalah minuman pembuka maka Madre adalah menu utamanya, atau Madre adalah roti-roti klasik yang mantap dinikmati bersama Kopi, mereka sungguh berbeda tapi nikmat untuk disantap bersama. Itulah Dee, yang selalu bikin saya penasaran hingga tertawan. Itulah hidup, kau punya kebaikan yang bisa membuatnya jauh lebih baik, seperti yang selalu dibuat Dee lewat karya-karyanya...


Selamat membaca
(makasih romo Sipri, akhirnya sudah membelikan saya Madre)
Kapan, Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...