Sabtu, 13 Agustus 2011

Biutiful The Movie: Merasakan Tragedi Ambiguitas Moral Parah Dalam Batas Kehidupan



“Bagi saya yang menonton Biutiful, jadi merasa bahwa jarak antara kehidupan
dan kematian bisa jadi begitu tipisnya. Seperti pesan Heidegger
bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan
yang berorientasi pada kematian”


Biutiful | 2010 | Negara: Meksiko, Spanyol | Sutradara: Alejandro Gonzalez Inarritu | Pemain: Javier Bardem, Maricel Alvarez, Hanaa Bouchaib, Guillermo Estrell, Eduard Fernandez | Bintang: **** (4)


Baca Juga:  Babies, Life is An Adventure





Biutiful, sebenarnya adalah salah satu film yang begitu saya tunggu di akhir tahun 2010 karena saya sangat menggemari film-film karya Alejandro Gonzales Inarritu, sutradara berbakat kelahiran Meksiko. Saya mulai jatuh cinta ketika pertama kali nonton Ameros Perros, langsung deh ketagihan untuk nonton karya-karya lainnya seperti 21 Grams, Babel, dsb. Maka ketika mendengar kabar Javier Bardem, si pemeran utama dalam Biutiful ini memenangkan penghargaan aktor terbaik di Cannes, langsung deh saya bolak-balik rental DVD langganan, Universal di daerah Selokan Mataram Gejayan. Rental ini selalu punya koleksi film-film gokil. Dan saya suka.

Kembali ke Beautiful.

Ketika akhirnya nonton, kesan pertama adalah wah ini film rumit, sebagaimana ciri khasnya Inarritu. Hanya saja plot kali ini bukan maju mundur  dengan banyak plot juga bikin dahi mengkerut, tapi plot yang ini lebih melingkar, artinya adegan pembuka sebenarnya adalah adegan penutup cerita. Yang sebenarnya sama bikin dahi mengkerut juga. 

***

Ceritanya tentang perjuangan serta konflik yang terjadi dalam hidup manusia. Sungguh, nonton film ini jatuhnya kita jadi ikutan miris, sepi, tapi tak melankolis malah terkesan tragis dan suram. Yah, Biutiful adalah juga tragedi kemanusiaan: kehidupan perkawinan yang kurang harmonis, namun disisi lain ada anak butuh kasih sayang orang tua. Juga cerita tentang kehidupan si tokoh utama yang terkait pula dengan para imigran gelap Barcelona, kepolisian yang korup dan sewenang-wenang (represif kepada para imigran). Bagaimana berhadapan dengan istri yang mengalami gangguan bipolar, tapi selingkuh dengan kakak sendiri.

Tragis memang dunianya Uxbal (diperankan dengan apik oleh aktor kelas Oscar, Javier Bardem. Ingatlah akting gemilangnya sebagai psikopat di No Country for Old Men dan The Sea Inside). Uxbal sendiri digambarkan hidup dua dunia yang sama-sama bikin miris, di satu sisi ia adalah penyalur barang-barang imigran gelap Cina kepada imigran gelap asal Senegal yang kerap menyuap polisi, namun disisi lain Uxbal adalah ayah yang sangat mencintai kedua anaknya Ana dan Mateo, karena tak bisa berharap banyak dari sang istri, Maramba (Maricel Alvarez) yang depresi akut dan suka mabuk.

Apesnya, sang istri malah selingkuh sama abangnya. Uxbal menjadi dewa penolong bagi imigran gelap di Barcelona, sebenarnya juga punya penghasilan lain yang jauh lebih ‘bersih’, menjadi juru kunci antara arwah dan manusia yang masih hidup. Yah, unik memang karena digambarkan punya talenta bisa berhubungan dengan arwah. Dari profesi ini ia mendapat imbalan. Hingga pada akhirnya timbunan masalah itu berujung pada penyakit kanker ginjal, hati dan tulang yang dideritanya makin membuat Uxbal depresi karena punya mimpi mensejahterakan anak-anaknya karena tak bisa berharap banyak dari istri.

Mungkin ini adegan klimaksnya, ketika Uxbal yang berkali-kali kencing darah tapi juga gigih mengantarkan anaknya ke sekolah, penghubung arwah dan manusia demi sedikit imbalan, tapi juga masih berkutat dengan dunia hitam yang lain, ikut mengekspoitasi imigran gelap hingga menyuap polisi agar bisnisnya awet.

Kota Barcelona dalam Biutiful bukanlah surga sebagaimana sering muncul dalam kamera para turis, kota romantis nan artistik. Sepanjang 147 menit durasi film, Barcelona yang kita lihat adalah kota yang terjerat dalam moralitasnya sendiri. Uxbal terjebak dalam lingkaran setan, di mana semua orang harus mengandalkan satu sama lain, namun tidak ada yang benar-benar bisa diandalkan. Konsekuensinya, saling mengeksploitasi! Institusi keluarga tak lagi sakral karena kakak tega meniduri istri adiknya. Penegak hukum juga sama nistanya. Semua polisi korup, tanpa rasa bersalah menerima uang suap, dan terang-terangan represif terhadap warga. Sungguh sebuah kehidupan yang moralitasnya ambigu. Entah bagian perilaku yang mana yang akan mereka anggap sebagai yang bermoral dan mana yang amoral. Ketika mereka melakoninya setiap hari dengan darah dan air mata, maka mungkin kelihatannya tipis atau malah tak ada batasnya sama sekali. 

Uxbal yang terlalu miskin, tertekan, dan putus asa untuk mengabdikan hidupnya pada suatu inisiatif yang mulia. Dia juga tidak punya banyak waktu luang untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Di pikirannya hanya ada kedua anaknya, yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan kerap terabaikan oleh ibunya. Kondisi hidup anaknya tersebut yang ingin Uxbal ubah sebelum maut datang menjemput. Artinya kita bisa memahami perjuangan Uxbal bagi keluarga, perjuangannya atas ketidakadilan yang dialami para imirgan, yang mungkin sebagai satu-satunya jalan penebusan atas dosa-dosa di sisi kehidupan yang lain, dengan ujung: moralitas tanpa batas lagi ambugu antara yang mulia dan yang amoral!

Mungkin bagi Uxbal, surga hanya ingin dipersembahkan bagi anak-anaknya saja. Baginya, usaha memperjuangkan kelayakan hidup anak-anaknya sama dengan kemenangannya mencapai standar moralnya sendiri dalam hidup. Memperjuangkan kehidupan orang lain diujung vonis dokter terkait kematiannya sendiri yang kian dekat.

Bagi saya yang menonton, jadi merasa bahwa jarak antara kehidupan dan kematian bisa jadi begitu tipisnya. Seperti pesan Heidegger bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang berorientasi pada kematian.

No Country For Old Men
The Sea Inside
Akting Javier Bardem memang sudah tak bisa diragukan lagi. Pemain watak hebat saat ini. Didukun pula akting Maricel Alvarez yang meyakinkan sekali sebagai penderita gangguan bipolar. Dan menariknya beberapa film Bardem kayak No Country For Old Men (sebagai psikopat berdarah super dingin) atau The Sea Inside (Mar Adento) sama-sama berkisah tentang ‘batas hidup dan mati’ manusia. Bahkan di The Sea Inside, Bardem berperan sebagai nelayan yang lumpuh karena kecelakaan saat menyelam, lantas depresi dan mendukung aksi euthanasia dan hak bagi orang yang ingin mengakhiri hidupnya secara sadar.

Selamat menonton

Jogja, Maret 2011
untuk MudaersNTTmenulis/ komunitas #daunlontar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...