Kamis, 16 Juni 2011

Wajah Indonesia dalam Sinema: Kali ini Putu Wijaya Bintangnya…


Disaat negara ini makin gak karuan karena terseret kasus-kasus korupsi yang menimpa para pemimpinnya, munculah film-film yang sedikit (atau banyak) memberikan angin segar dan juga optimisme tentang rasa Nasionalisma. Salah satunya Serdadu Kumbang yang baru saya tonton sore tadi. Seperti janji saya pada mbak Nia Zulkarnaen via Facebook bahwa saya nantinya akan menjadi pengantri tiket di hari perdana tayang.

Tiba-tiba ketika sudah duduk manis di kursi nomor 7 C dan mendengar orang-orang di kanan dan kiri saya berceloteh, sayapun ingat kondisi yang sama setahun lalu saat nonton Tanah Air Beta. Cuma bedanya, ketika Tanabe dulu yang riuh di kiri kanan saya adalah sesama orang NTT, maka sekarang saya nonton diantara orang-orang NTB yang mungkin saja sama kondisinya, datang untuk melihat tanah air dan budaya di ekspose kedalam medium film Nasional.

Dalam hati saya berujar, inilah Indonesia yang sesungguhnya. Ketika cerita film tak lagi monopoli orang-orang urban Jakarta, orang Jawa atau hantu-hantu yang ramai bergentayangan di gedung bioskop, tapi bolehlah cerita budaya dan masyarakat luar Jawa yang diangkat. Paling gak setahun ini hati saya bangga minta ampun. Saya bisa melihat wajah alam bawah laut Wakatobi dan keseharian suku Bajo di Sulawesi yang coba diangkat sutradara muda Kamila Andhini, dalam film The Mirror Never Lies atau berpetualang bersama masyarakat Dayak di hutan perbatasan Kalimantan-Malaysia dalam film Batas (Rudi Sudjarwo).
Putu Wijaya

Ada juga film Indonesia lain yang saya tonton, yang temanya juga menarik, misalnya film Trilogi Merah Putih: Hati Garuda dan film Kentut karya Aria Kusumadewa. Hati Garuda spesial karena menggali lagi cerita perang kemerdekaan dengan sebagain besar setting perang kemerdekaan di Bali. Dan fil Kentut, komedi satir khas Aria, mengangkat sisi lain dari kehidupan perpolitikan negeri ini yang sudah kadung busuknya atau pun juga kondisi masyarakat yang termarjinalkan oleh negaranya sendiri. Itulah Indonesia hari ini, bukan?

Dan kini, Alenia Pictures dengan baik sekali mengajak mata penonton Indonesia menoleh sejenak ke tanah Sumbawa, NTB, yang juga adalah bagian dari Indonesia. Tentu ini cuma sebagian kecil saja dari luas dan beragamnya Indonesia itu. Oh yah saya juga ingat, pertunjukan teater dan musikal Beta Maluku di Taman Ismail Marzuki Jakarta beberapa waktu lalu yang saya baca di koran katanya juga sukses besar. Kesemuanya mempunyai misi yang sama: yuk kita lihat Indonesia. Kaya lho negeri ini. cuma dengan menyadari dan mengenali semua ini, rasa persatuan dan kesatuan yang katanya sudah luntur itu bisa dipoles lagi warnanya. Jadinya. Slogan Kemenbudpar tak sekedar omong doang. Kenali negerimu, cintai negerimu benar-benar terpatri dalam hati semua orang Indonesia.

Berbicara Serdadu Kumbang, saya rasa ini sudah menjadi pencapaian luar biasa (sejauh ini) dari Mas Ari Sihasale dan mbak Nia Zulkarnaen yang selalu konsisten dengan mengangkat tema anak Indonesia dan pendidikan.

Dari keseluruhan, yang saya sukai adalah aktingnya pak Putu Wijaya. Beliaulah bintangnya di film ini, selain dek Amek (diperankan oleh Yudi Miftahudin) sebagai tokoh utamanya. Karakternya kuat sekali. Saya suka adegan Amek yang bercita-cita menjadi presenter berita berlatih di sebuah gubuk. Sendirian mengoceh ulang isi berita TV yang ia tonton hari itu dengan jendela gubuk sebagai frame-nya. Hehhe itu keren dan sangat menggelitik. Film ini berhasil juga memotret kehidupan anak Sumbawa dan kuda. Yah kuda menjadi salah satu bintang yang penting bagi orang Sumbawa. Benar-benar Indonesia deh. Berikutnya, suara musisi Ipang yang menjadi OST di film ini ‘kawin’ banget deh sama ruh dari film Serdadu Kumbang.


Berikutnya, apakah film-film bertema wajah Indonesia ini akan menjadi semacam ‘tren’? berharap sih demikian. Toh ini positif, daripada menghadirkan sejuta hantu ke layar bioskop? By the way, bangga juga lho misalnya tadi di gedung bioskop, kelima film yang diputar semuanya film lokal, 3 diantaranya bahkan yang saya sebutkan di atas tadi, Hati Garuda, Kentut dan Serdadu Kumbang. Hmm, bangganya.

Wajah Indonesia berikutnya? Saya menanti film tentang anak-anak Ambon, anak Manado, anak Aceh atau anak Lamalera- kampung pemburu paus dari timur pulau Flores? Hayo mbak Nia, mas Ale, bikin film tentang anak-anak Lamalera!

Buat para sineas yang filmnya saya sebutkan di atas, terima kasih karena sudah membuat saya makin mencintai Indonesia…saya rasa Indonesia pun bangga memiliki kalian!

Jogja, 16 Juni 2011 (untuk Forum Mudaers NTT Menulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...