karya Christian Dicky Senda
untuk gerakan MuDAers NTT Menulis
"Di kamar pengab dan pesing itu, ia ingin bunuh diri. Ini bukan kali pertama ia mengeluhkan hal itu padaku."
Rasanya hanya kematian yang akan mampu membuat aku lupa anak-anak kandungku sendiri. Aku bahkan menyesal karena gagal mendidik mereka tentang caranya menghormati orang tua. Suatu pagi wanita ringkih itu menceritakannya dengan suara parau sambil memegang tanganku. Kulihat bola-bola sebening kristal mulai menumpuk di bingkai matanya. Hanya dalam satu kedipan, semuanya lantas percah berurai. Dadaku sontak menjadi sangat sesak. Yah, sesak sekali.
Dari papan informasi di ruang depan, aku pun tahu namanya ibu Sri Sumartini.
***
Pagi-pagi benar aku sudah mampir ke panti. Aku sudah berjanji kepada bu Retno pimpinan panti untuk ikut merayakan ibadah pagi bersama dengan oma-oma disana. Sungguh ini adalah pengalaman pertamaku berada dalam situasi demikian. Tiba-tiba saja aku ingat almarhumah nenekku juga ibuku di kampung. Sebenarnya aku tak punya tugas khusus disini. Aku hanya ingin berkumpul bersama oma-oma, mendengar cerita sekaligus mengamati perilaku harian mereka di panti. Lantas semuanya akan aku rangkum dalam sebuah laporan disamping tugas lainnya, aku harus membuat seminar tentang hasil observasi dan wawancaraku di kelas. Meski baru dua hari saja di panti, aku sudah terlampau jauh merasakan banyak pedih, perih dan ketidakberesan disana. Masa tua yang tak serona mega-mega senja di penghujung sore.
Sebenarnya tak ada pilihan lain waktu itu ketika proposal psikologi terapan (nama lain dari kuliah kerja nyata di fakultasku) yang kuajukan ke panti asuhan yang dikelola pemerintah kota jogjakarta ditolak. Seorang teman menyarankan panti wreda Anna ini karena pernah melakukan acara ulang tahun anaknya disana. “Pemimpin pantinya baik kok, coba deh kamu kesana aja” ia meyakinkan aku. Singkat kata proposal saya diterima.
Aku memanggil mereka dengan sebutan ‘Oma’ saja, untuk lebih mudahnya karena aku memang selalu sulit menghapal nama-nama orang yang baru kukenali, toh sebagian besar dari mereka sudah terserang pikun dari tingkat ringan hingga akut. Untuk pertama kali harus aku garis bawahi, kesulitan untuk mengenal nama orang beda dengan pikunnya orang tua. Lagipula aku masih 22 tahun.
Panti Wreda Anna punya 15 kamar, dengan dua spesifikasi. Pertama, ada kamar khusus yang dihuni seorang oma dalam satu kamar. Jumlahnya hanya lima kamar. Kedua, jenis kamar yang dihuni berbarengan tiga sampai empat oma. Kamar jenis pertama, lebih bersih, rapi dan cukup terawat. Sedangkan kamar jenis kedua, berhubung dihuni lebih dari tiga orang, situasinya sangat memprihatikan. Posisinya agak dibelakang, aroma pesing dimana-mana dan lumayan berantakan. ‘’Kasihan, sudah kayak hotel berbintang dan hotel kelas melati saja’’ batinku.

“Mas Leo, meski begini, puji Tuhan, selalu saja ada jalan keluarnya. Meski sedikit, kami selalu dibantu. Oma-oma selalu mendapat pelayanan dari romo paroki, ada juga sekumpulan mahasiswa yang setiap dua minggu sekali rajin menyanyi disini..” kudengar sebuah ketulusan meluncur dari mulutnya.
“Oya, mas mungkin akan dapat banyak curhat dari para oma. Tapi percayalah, sepuluh menit kemudian mereka sudah lupa siapa anda, dari mana asal anda, he-he-he…” lanjutnya sambil tertawa kecil.
“….dan topik yang terus diulang-ulang kan ?” aku menimpali. Aku merasakannya kemarin dalam sebuah obrolan dengan seorang oma pehuni kamar 12 yang mengaku berasal dari Semarang yang terus-terusan berucap tentang keinginan bunuh dirinya.
***
“Kau tahu, aku selalu menyembunyikan obat-obatan di dalam behaku lantas kubuang di kloset. Para petugas selalu memeriksa saku baju dan sebalik bantalku. Mereka suka kasar. Aku benci mereka,” bisiknya padaku seolah ada petugas dekat situ yang akan menguping. Matanya melotot sedikit geram.
Tak kusangka, pula tak kuiyakan.
Aku hanya ingin menyusup lewat matanya. Dan selalu diakhir ceritanya ia mengulang-ulangi kalimat ini: “aku ini dulunya guru, mas…guru matematika yang galak! He-he-he..” uacapnya sambil tertawa getir. Rasanya tawar.
Aku sama sekali tak bersuara. Bukan tak mampu, tapi sejak awal aku hanya mau memposisikan diri sebagai pendengar yang baik. Itu saja. toh mereka tak butuh solusi. Jika pun ada sanak keluarganya disini, mungkin aku akan melakukan wawancara khusus.
Tiba-tiba wanita itu bersuara lagi, “Aku pengen balik ke Semarang , mas. Kangen rumah e..” Ia melepas kacamata dan menyeka pipi basahnya dengan ujung lengan daster batik. Dengan spontan kuraih tangan keriputnya dan mengusapnya pelan-pelan. Mirip tangan nenekku, sebulan sebelum kematiannya.
“Dulu kesini sama siapa Oma?”. Rasa penasaran pun menyergap.
“Dantar anak lelaki sulungku. Katanya mau diajak jalan-jalan, tahu-tahunya aku dibawa kesini”
“Sudah lama?”
“Dua tahun disini. Dikunjungi anak perempuanku pas Natal tahun lalu…”
“Gimana rasanya disini, Oma?”
“Aku mau mati saja maaas..” tiba-tiba ia menjerit.
“Aku benci tinggal di kamar ini. Bayangkan jika kamu tinggal dengan sekumpulan orang gila yang berteriak di malam buta saat kau harusnya sedang bermimpi indah!”
Ia bilang kalau bau pesing di kamar selalu memanggil niatnya untuk mati saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...