Catatan
kopdar bersama Feri Latief di Nekamese Resto
Jumat 19 April
2013 jam 13 siang saya berkesempatan kopdar dengan bang Feri Latief seorang
wartawan lepas di beberapa media nasional salah satunya National Geographic
Traveler. Kebetulan selama beberapa minggu belakangan beliau sedang berada di
Timor. Bersama timnya sedang melakukan peliputan khusus untuk pembuatan buku.
Topiknya tentang komunitas Tionghoa di Timor.
![]() |
Bersama kak Edi Olin. sumber: https://twitter.com/feri_latief |
Tentang bang
Feri, saya mengetahui jejak beliau sekitar 3 tahun lalu, ketika secara tak
sengaja menemukan tulisan-tulisannya tentang mama Aleta Baun dari Mollo. Kala
itu saya memang lagi penasaran sama tokoh perempuan Mollo yang masyur itu.
Karena meski orang Mollo juga, saya tak terlalu banyak tahu tentang mama Aleta.
Dan akhirnya jadi tahu semenjak membaca tulisan bang Feri tentang mama Aleta di
blog prbadinya
http://matakumatamu.multiply.com
Beberapa waktu
kemudian, tulisan mas Feri yang lain tentang kearifan masyarakat Mollo di
majalah NGT saya baca (juga secara tak sengaja) ketika sedang berkunjung ke
Gramedia Mall Malioboro. Dan baru
beberapa bulan terakhir akhirnya saya bisa berkomunikasi dengan beliau via
Twitter.
Ketika tahu
bahwa bang Feri, dkk akan mampir ke Soe untuk meliput komunitas Tionghoa-Timor
yang ada di Kota Soe, saya langsung mention “Ke Kapan juga. Ada komunitasnya di
Kampung Cina.”
Akhirnya mereka
ke Kapan juga.
Setahu saya,
komunitas etnis Tionghoa lebih dahulu ada dan eksis di Kapan ketimbang di Soe.
Sebab ibukota Zuud Midden Timor (sekarang setingkat kabupaten) awalnya di
Kapan. Lalu pindah ke Soe. Artinya peradaban kota Kapan sebenarnya jauh lebih
tua ketimbang kota Soe. Kedua, Kapan, sebagaimana Niki-niki dan Nunkolo dulunya
adalah ibukota kerajaan yang ada di TTS.
Kapan adalah
ibukota kerajaan Oenam atau Mollo, Niki-niki ibukota kerajaan Amanuban, dan
Nunkolo yang dulunya ibukota kerajaan Amanatun. Sejarah mencatat bahwa
orang-orang dari Cina punya relasi perdangangan dengan para raja kala itu. Kala
itu kayu cendana, madu dan lilin adalah komoditi unggulan Timor yang menarik
pedagang Cina untuk mampir. Oleh para raja, komunitas Tionghoa akhirnya diberi
hak tersendiri, misalnya adalah penggunaan fam/marga lokal dan menempati posisi
tertentu dalam struktur/tatanan kemasyarakatan. Komunitas Tionghoa pun telah
melakukan banyak sekali asimilasi kebudayaan dengan masyarakat lokal.
Saat itu saya
banyak nge-tweet ke bang Feri soal komunitas Tionghoa di Kapan. Saya cukup tahu
sedikit sejarah tentang mereka, karena sering mendapat cerita dari bapatua dan
mamatua. Puji Tuhan, saya punya orang tua yang sonde kikir dengan segala
informasi jadul. Namun sebenarnya karena saya punya ketertarikan yang besar
terhadap sejarah, terutama sejarah peradaban orang Mollo. Ada banyak mimpi
terkait hal tadi yang sudah saya konsepkan, sambil menunggu entah kapan ide-ide
itu bisa tereksekusi.
Menurut bang
Feri, sekitar bulan September nanti mereka akan ke Timor lagi untuk melanjutkan
peliputan dan pengumpulan data. Kayaknya ini akan menjadi kajian yang menarik.
Sebab rupanya masih jarang ada yang meneliti tentang uniknya asimilasi
komunitas Tionghoa di Timor.
Kopdar di Nekamese Resto
Awalnya saya
rencakan untuk kopdar bersama bang Feri, dkk melibatkan kawan-kawan blogger
saya. Namun karena satu dan lain hal akhirnya saya saja yang bisa. Itupun
dengan agak pemaksaan ke bang Feri, karena setelah makan siang di Nekamese itu
mereka langsung menuju bandara dan terbang ke Jakarta.
Siang itu di
Nekamese ada bang Feri dan tiga orang temannya yang terkait langsung dengan
penelitian dan penulisan buku tersebut. Lalu ada om sopir dan kak Edy Olin,
kontributor Kompas TV. Obrolan siang itu singkat saja, ditemani sup jagung,
ikan saus asam manis, tumis se’i sapi dan tumis daun singkong-bunga pepaya.
Seru dan
menyenangkan, bisa ketemu orang-orang hebat dalam bidangnya masing-masing.
Wawasan saya bertambah. Pastinya semangat saya untuk berbuat sesuatu untuk
Mollo bertambah. Mungkin akan segera saya mulai dengan proyek buku Kanuku Leon
saya. Amiiin.
Siang itu,
mengobrol bersama mereka semacam melihat Mollo (atau Timor pada umumnya) dari
kacamata orang non Mollo, non Timor. Bukan berarti tanpa makna ya, tapi justru
kaya makna. Sebab ada begitu banyak perspektif baru yang lahir dari sana.
Sayang, obrolannya terlalu singkat. Terima kasih bang, untuk traktiran makan
siangnya.
Christian
Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Saat ini bergiat di
Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community) dan Komunitas Sastra Dusun
Flobamora. Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan sedang menyiapkan usaha
penerbitan buku kumpulan cerpen Kanuku Leon berbasis crowd-funding.
Artinya peradaban kota Kapan sebenarnya jauh lebih tua ketimbang kota Soe. *cieeeh*
BalasHapusIya, setuju, menelusuri etnis cina di TImor [Tengah Selatan], sebaiknya bukan di Soe, tapi ke Kapan, Niki-niki dan Oinlasi. Mereka lebih dahulu ada di sini, baru kemudian masuk SOe...
Saya menghabiskan masa kecil saya, kurang lebih sampai kelas 1 SD di Kapan :D kebetulan Papa saya dulu bertugas di Kapan, saya masih ingat kalau di Kapan banyak oko oko dan aci aci yang baik :D kebanyakan dari mereka adalah teman mama saya yang adalah seorang guru TK di Kapan. meskipun saya tidak bisa mengingat secara lengkap, tapi Kapan masih membekas di benak saya. Dingin, bahkan pernah hujan es ketika saya masih kecil. Sekarang kedua orang tua saya bertugas di Bali, saya sendiri terlempar jauh dari sisi keluarga dan NTT tercinta sejak kelas 2 SMA. saya benar benar senang ada Blog seperti ini yang berbagi banyak info tentang NTT. Bae Sonde Bae Timor Lebe Bae. Salam.
BalasHapus