Mario F Lawi. Bagi anda yang sering membaca
Pos Kupang edisi Minggu, mungkin tak asing dengan nama ini. Penulis muda
berbakat yang namanya kerap menghiasi kolom cerpen dan puisi di
beberapa surat kabar NTT. Saya sendiri juga sering membaca
tulisan-tulisan Mario di edisi online PK, karena waktu itu masih tinggal
di Jogja. Pada pertengahan tahun 2011 ini saya berkesempatan menjadi
temannya di situs jejaring sosial Facebook hingga akhirnya bertemu
beberapa bulan lalu. Saya kebetulan suka menulis puisi dan baru belajar
menulis cerpen, makanya senang juga bisa berteman dengan ‘Mudaers NTT’
lainnya yang sudah cukup punya nama sebagai sastrawan muda NTT, termasuk
Mario. Mereka yang karyanya sudah mendapat pengakuan dari beberapa
kritikus sastra di NTT. Terus terang saya juga banyak belajar dari
mereka para penulis muda yang karya-karyanya sering muncul di Pos Kupang
atau Timor Expres. Mario sendiri adalah salah satu wakil dari NTT
(bersama ‘MudaersNTT lainnya Ishack Sonlay) yang mengikuti Temu Sastra
Nasional di Ternate baru-baru ini. Kini aktif juga berkarya di beberapa
komunitas sastra di kota Kupang.
Saya juga beruntung akhirnya bisa membeli buku kumpulan puisi
pertamanya, Poetae Verba terbitan Bajawa Press Jogjakarta. Isinya kaya,
dengan pilihan kata yang berkilau yang membungkus tema pemaknaan cinta
dan persahabatan. Atau tema yang lebih reflektif antara penulis dengan
Sang Pencipta. Di Poetae Verba, kita bisa menemukan banyak dialog antara
penulis dengan hati kecilnya, dengan sang adik, dengan semesta: senja,
matahari, hujan, angin, sungai….dengan teman (yang saya duga teman-teman
di asrama/ seminari – Mario adalah alumnus Seminari Menengah St. Rafael
Kupang).Misalnya dua puisi berikut yang sangat menarik hati saya.
Hujan dan Lautan
Apakah yang dapat dikenang dari hujan
Selain rintik dan gerimis?
Apakah yang dapat mengingatkanmu pada lautan
Selain riak dan gelombang?
Karena itu, kenanglah aku:
Sebagaimana rintik dan gerimis
Mengingatkanmu pada hujan
Sebagimana riak dan gelombang
Mengantarkanmu pada lautan
Sebab akulah hujan
Dan lautan itu
***
Menanti Senja
Senja belum menghiasi kaki langit
Matahari masih sama, garang dan terik
Tapi kami percaya
kerelaan matahari untuk terbenam
akan memberikan senja yang sangat indah
dan kami akan berlari
menyusudri pasir putih dan riak-riak pantai
menelusuri senja yang terbit dan kerelaan matahari
tapi, sebelum senja terbit
kami ingin menikmati garang dan teriknya
matahari itu
sebab kami tahu, senja indah yang memancarkan
lembayung itu
tumbuh dari garang dna teriknya matahari
***
Sejatinya tulisan ini bukan sebuah resensi, melainkan referensi, untuk mengajak kita para Mudaers NTT ikut mengapresiasi perkembangan dari penulis-penulis muda kita.
Ayo beli Poetae Verbae sebaga bentuk dukungan kita sebagai sesama Mudaers NTT terhadap perkembangan sastra NTT dan juga usaha penerbitan buku independen. Informasi lengkapnya bisa menghubungi saudara Mario di Facebook (Mario F Lawi), e-mail: mariolawi@ymail.com atau via websitenya: www.mariolawi.wordpress.com
Salam Poetae Verba…
Christian Dicky Senda: blogger, penikmat sastra, psikologi, film dan kuliner. Penulis antologi puisi Cerah Hati (Indie Bokk Corner Jogjakarta, 2011). Pengagum Christoph Nolan yang suka bereksperimen di dapur Mamatua. Kini menetap di kota dingin Soe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...