Rabu, 14 Desember 2011
Tentang Sepuluh Keponakan
: episode masa kanak
Richard Sam Putra:
Adalah lelaki pertama yang datang ketika musim jagung berbunga
Kala senyum lebar ba’i Oyang yang tak bergigi menjerat pagi
Ia bilang: ‘weeek…’ sambil mencubit layar telingamu
Yang anggapmu itu senyum paling abadi yang pernah kau temukan
Yang selalu kau simpan dalam bungkusan hati kecilmu
Ericman:
Aku ingat saat-saat kau lahir,
Pukul enam pagi sakit perut ibumu mengusik sendu
gigitan dingin embun Mollo
dan pikiran kerdilku sedang mereka-reka dari mana datangmu
atau seperti apa rupamu yang masih terbungkus darah segar ibumu
saat semuanya reda
yang kulihat hanyalah senyum tipis sang dukun yang menemani Bapatua
mengubur ari arimu
Valentino Alvenzo:
Apa artinya kasih?
Kau tanyakan itu pada suatu malam gulita karena kota sedang mati lampu
Kata ibumu, “Yesus bilang kasih itu murah hati
Sabar dan tidak cemburu”
“Dan kelak hatimu menyenangkan setiap hati yang dekat denganmu”
Seperti sapuan angin dari setiap kaki langit
Menuju kota teduh
Bersamaan dengan pinggang hutan yang mekarkan sayap kupu-kupu
Kau ada di sisi rasa suka itu
Wilfred:
Kawan
Aku dan kau adalah kawan
Sejak semesta memberikan kita kejernihan dan ilhamnya
Sejak pertama kali kita mengobrol disela bau minyak talon dan
Campuran genoak – pala – minyak kelapa yang membekas di ubun-ubunmu
Sejak jarak purnama kita bukan lagi sebuah fatamorgana
Dan kita terus menganggap perkawanan ini seperti menulis sajak
Ada rindu yang meletupkan semangat merasakan setiap kata yang keluar dari Hati
bernapas dengan sempurna
Kaulah kawan sejati
Maria Prilia:
Kita pernah bersua di kuburan nenek moyang kita
Semua karena panggilan kilau sayap kupu-kupu tak bernama
Meski sebenarnya kau hanya usil mengganggu
percumbuan si tak bernama dengan
Bebungaanya
Sedangkan aku
Hanya mencari jejak kepulangan si lebah pekerja
Sambil terus bermimpi
‘harusnya kau terperosok pada sebuah lubang rahasia
Biar ketemu kelinci bijak berjas ungu. Kau pasti suka..”
Nindy Graciela:
Kau mengerti arti perpisahan
Bukan sekedar lambaian lama hingga yang kau kasihi mengecil di kelokan jalan
Kau selalu mengerti arti perpisahan sejak pertama kali bertemu
Karena kau inginkan pertemuan itu abadi
Kini kuajarkan kau, hidup artinya datang dan pergi
Sehingga tak ada lagi udara hambar yang menyesakkan dadamu
Melainkan lambaian tangan yang jari –jarinya
sudah kau gambarkan segaris senyum
Akh, tentangmu aku selalu lupa menulis puisi
Tertawa saja yah?
Giovanni Christian:
Kau tahu tidak pernah suatu waktu, ari ari kita bercakap-cakap
Itu sih pertemuan rahasia
Aku yang tahu karena kau berkawan dengan ayam makanya
suka tidur dikala senja
He-he bercanda saja
Kau tahu seberapa dekatnya Sagitarius dan Capricornus?
Sedekat kernyitmu
Sedekat lorong mata yang memerdekakan rasa
Kita, boca-bocah petualang kabut-akbut Mollo
Bintang Clarisa:
Kau orion
Terkadang waluku
penjaga samudra
bermata sesawi merah yang dibilang mirip Mamatua
tentang senyum tipismu
kuartikan sebagai sang penuntun
kata ibumu, sang pendoa
yah
kau bintang
sang pengirim doa di hamparan layar samudera
Benedicto Cesare:
Dipinggiran kota yang tenang
Kita terbiasa melafalkan cita-cita
Biar gaduhnya balapan dengan nyanyian
kodok di kolam buatan ayahmu
tapi kau suka merayu lalu mengganggu
kadang merengek dan bikin leher ibumu menegang
selalu kau kubisiki
sesuatu yang bikin matamu berbinar
sehingga bisa kulihat cakrawalamu maha luas
lantas rengekanmu bikin buyar lagi
kau lebih suka aku menyanyikan Cinci Boncu saja…
cinci boncu
boncu laka boncu
tanam sayur
pancing kea
malu-malu udang
dek…
Flora Milabeth:
Hanya kau saja yang bisa membuat ayahmu menangis
Karena jalan lahirmu terlampau berkelok
Hai, bunga matari kesayanganku
Meski akhirnya rasa tegang berbuah manis
Dan sorenya, di kuburan ari arimu
Mamatua memimpin kami merapalkan doa
Disela acara menabur kapur dan garam
Untuk keselamatan hidup, katanya
Kulihat ruh ari arimu menempeli ozon yang hampir koyak
Akh, sempat terpikirkan
Namamu Bumi saja
Tapi telat
Kudoakan
Hatimu membumi sajalah
Eh, sini kuajarkan kau bernyanyi lagu Tumbuk Belalang
Taubneno, 13 Desember 2011
Christian Dicky Senda, blogger, penikmat sastra, film, psikologi dan kuliner. Kini menetap di kota kabut SoE. Kini sedang mengandung kumpulan puisi keduanya, Kanuku Leon, persembahan untuk tanah Mollo tercinta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...