Sabtu, 06 Agustus 2011

PENGALAMAN DI DARMSTADT

(oleh Sipri Senda)


Menemukan menu Indonesia di Kota Celeng
Saya mengenal ibu Agnes di Roma ketika beliau berziarah ke Roma bersama ibu Anna yang juga baru dikenalnya di atas bus dalam perjalanan ke Roma. Kisahnya memang unik. Tahun lalu ketika berkunjung ke Gross Gerau, saya memberikan sebagai kenang-kenangan kepada ibu Anna, sebuah buku kecil, buku humor kaum berjubah. Ia tertarik mempelajari bahasa Indonesia, bahkan sampai membeli kamus Indonesia-Jerman lewat internet. Bulan Oktober 2007, keduanya ikut dalam rombongan ziarah ke Roma tanpa saling mengenal sebelumnya. Di atas bus itulah ibu Anna mencoba membaca buku kecil itu. Seorang teman yaitu ibu Gerith Stehmann yang menyaksikannya penasaran lalu menanyakan apa yang dilakukannya. Ketika diketahui bahwa ia sedang belajar bahasa Indonesia , ibu yang juga mengenal ibu Agnes langsung memberitahukan bahwa ada seorang ibu yang berasal dari Indonesia . Maka jadilah mereka berkenalan, dan bersahabat baik hingga saat ini. Ketika di Roma, mereka berdua mengirim SMS untuk bertemu dengan saya di Vatikan. Sehabis kuliah, saya berjumpa dengan mereka di lapangan Santo Petrus. Ibu Agnes berasal dari Surabaya, sudah lama hidup di Jerman, menikah dengan bapak Carlheinz orang Jerman dan tinggal di Darmstadt sejak April 1976. Sebelum ke Gross Gerau, saya menyampaikan rencana saya berkunjung ke rumah mereka juga selama beberapa hari sebelum ke Belanda. Dengan senang hati ibu Agnes yang baik hati ini menerima rencana tersebut dan mengatur jadwal yang pas: tanggal 19-24 September 2008. Ibu Anna dan Ibu Irmgard mengantar saya dengan mobil ke Darmstadt . Untuk pertama kali mereka mengunjungi ibu Agnes di rumahnya. Maka perjalanan ke sana pun diatur dengan bimbingan navigator satelit yang bekerja dengan baik, sehingga kami tidak tersesat. Ibu Anna mengemudikan mobil dengan cekatan. Navigator yang baik dan sopir yang baik membawa kita ke tempat tujuan dengan selamat. Bagi kita orang Kristiani yang sedang dalam perjalanan ke surga, navigator dan sopir yang tepat tidak lain, tidak bukan adalah Tuhan Yesus Kristus. Lebih dari sekedar navigator dan sopir, Dia bahkan adalah jalan itu sendiri.

sumber: en.wikipedia.org
Setelah berbincang-bincang sejenak, ibu Irmgard dan ibu Anna pamit kembali ke Gross Gerau. Sampai jumpa tahun depan. Tinggallah saya di Darmstadt . Karena kamar untuk tamu sudah lama tidak digunakan, dan belum sempat dibenahi, maklum mereka berdua tinggal sendiri saja karena kedua anak mereka bekerja di tempat lain, maka mereka mengatur penginapan saya di hotel di depan rumah mereka. Malam saya tidur di hotel, lalu sepanjang hari bersama mereka di rumah. Di hari pertama ini, setelah check in di hotel dan menyimpan barang-barang, ibu Agnes mengajak jalan-jalan dan mengurus tiket kereta ke Belanda. Kota kecil ini sebenarnya bernama Eberstadt (kota celeng, karena banyak celeng dilindungi di hutan yang terpelihara di kota ini), dan merupakan kota yang lebih antik daripada Darmstadt yang lebih moderen. Karena Darmstadt lebih terkenal maka Eberstadt pun berada di bawah ketenaran Darmstadt.
Hari pertama di Eberstadt langsung terasa suasana Indonesia biarpun sedikit. Saya bisa bercakap-cakap dengan ibu Agnes dalam bahasa Indonesia, sedangkan dengan bapak Carlheinz dalam bahasa Inggris. Selain itu, ternyata ibu Agnes sudah menyiapkan makanan Indonesia: nasi putih, sayur lodeh, tahu, telur dan opor ayam. Hmmmm..sedap!! hanya minumnya masih ala Jerman, bir! Hampir setiap hari minum bir di Jerman.
Ibu Agnes turunan Cina dari Surabaya. Sebelum keluar negeri, belajar ilmu keperawatan di Semarang. Sambil belajar, ia mengajukan permohonan visa ke negeri Belanda untuk melanjutkan studi. Kala itu sulit sekali mendapat visa. Namun ternyata permohonannya relatif cepat terjawab. Dia berangkat ke negeri Belanda 1968, belajar dan bekerja selama 7 1/2tahun, dan menjadi warga negara Belanda. Sesudah itu migrasi ke Canada, hidup dan bekerja di sana selama 1 tahun. Kemudian ia bertemu dengan bapak Carlheinz di Eberstadt. Carlheinz, seorang insinyiur teknik, adalah bapak kos saudara sepupu ibu Agnes dan pernah berlibur ke Bali, dan bahkan pernah singgah di Surabaya, di rumahnya ibu Agnes yang kala itu masih berada di Canada. Dialah yang mengundang ibu Agnes dan sepupunya ke Eberstadt sebelum sebelum berangkat kembali ke Canada lagi, sepulangnya dari Indonesia. Dalam pertemuan itulah bapak Carlheinz menyampaikan maksud hatinya, dan keduanya sepakat menikah. Dari perkawinan mereka, lahirlah 2 anak: si sulung ialah Carl yang kini bekerja di Berlin dan si bungsu Elisa yang bekerja di Prancis, di kota kecil St. Firmin Sur Loire - 150 km arah selatan Paris.


Teater Kocak

Hari pertama di Eberstad (Darmstadt) sangat mengesankan. Ibu Agnes yang baik hati mengatur semua keperluan selama berada di tempat mereka. Termasuk mengusahakan sambungan internet ke laptop saya, sehingga saya bisa berinternet-ria setiap hari di rumah mereka. Malamnya kami berangkat ke restoran Turki, makan malam bersama kawan-kawan mereka. Sesudah itu nonton teater kocak Dimitrich “Piano” Paul, yang mantan dosen fisika-matematika, tapi berbakat melucu dan bermain piano. Setelah pensiun dari mengajar, ia konsentrasi pada teater, melawak dan bermain piano. Sayang sekali, saya tidak bisa berbahasa Jerman, tapi dari penampilan, mimik, gestikulasi dan paparan , saya bisa memahami secara garis besar dan turut tertawa, apalagi ada penjelasan juga dari ibu Agnes sesekali. Kala itu ia menjelaskan dengan kocak hubungan antara Pisa, Bach dan Pythagoras: antara seni, musik dan matematika. Hadirin dibuat terpingkal-pingkal, dan saya ikut ketawa walau tidak mengerti seluruhnya. Satu hal yang muncul di benak saya adalah dunia teater di seminari-seminari se-NTT. Sejak dulu para seminaris terkenal sebagai pemain drama jempolan. Setiap kali liburan, mereka menyemarakkan paroki dengan pentasan teater yang memukau, tapi juga mengandung nilai ajaran hidup injili. Teater adalah sarana pewartaan injil. Mimpi saya adalah menghidupkan dunia teater seminari Oepoi dan seminari tinggi Penfui. Saya dengar, teater Ritapiret dan Ledalero masih berkibar. Sementara Penfui memang sejak semula tidak ada teater khusus seperti Ritapiret dan Ledalero. Waktu saya masih di sana, setiap kali acara bersama, kelompok kecil peminat teater atas inisiatif saya tampil dengan gebrakan acara tertentu yang menyuarakan pesan tertentu, ada di antaranya bikin merah telinga para pembina. Tapi bukan soal bikin merah telinga itu yang penting. Pikiran sederhana saya adalah teater merupakan sarana warta injil, serentak di dalamnya sarana kreasi seni para calon imam yang telah menerima 2 atau 5 talenta dari Sang Pencipta, dan alangkah ironisnya bila talenta itu dikuburkan hanya karena pembina di seminari tak peduli pada hal satu ini, di samping si calon imam sendiri yang enggan dan malas berkreasi tapi lebih terpukau pada hal-hal sampah. Memang, sangat disayangkan bahwa ada seminaris yang belajar filsafat-teologi tapi lebih senang menikmati hal-hal sampah, tapi justeru dengan itu ia membuat dirinya sendiri menjadi sampah.



Misa, Makan Siang Bersama dan Tamasya

Hari Minggu, saya bersama Ibu Agnes ke gereja. Bapak Carlheinz tinggal di rumah. Saya tidak ikut konselebrasi bersama pastor paroki, tapi duduk di bangku umat bersama ibu Agnes. Dalam misa ini saya berdoa untuk ibu Gerith yang sedang sakit, tapi juga doa untuk ibu Agnes sekeluarga. Saya diberitahu bahwa hari ini kita akan makan siang bersama-sama dengan ibu Gerith yang akan dioperasi hari Selasa. Kami bertemu di restoran Cina. Di sini menunya siap saji, ala bufet, sehingga setiap orang boleh pilih sendiri, dan ambil sebanyak yang diinginkan. Ada sekitar 12 pilihan. Bisa juga pilih sendiri bahan mentah, entah sayur, entah daging atau ikan, lalu diberikan kepada koki dan dimasak. Perlu menunggu sekitar 15 saja. Kami berlima, makan bersama sambil ngobrol ngalor-ngidul. Ibu Gerith bisa berbahasa Inggris sehingga saya cukup banyak bercakap-cakap dengannya. Tapi memang lebih banyak mereka berbicara dalam bahasa jerman. Ibu Gerith sakit kanker otak dan besok akan diantar ke rumah sakit, dan lusa akan dioperasi. Mengingat rawannya operasi kanker otak dengan risiko kematian sangat tinggi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpasrah saja pada kehendak Tuhan. Saya pribadi dengan sepenuh hati mendoakan ibu yang baik ini. Dalam offici dan misa, selalu dengan intensi untuk kesembuhan ibu Gerith. Kemudian, ketika saya di Belanda, saya mendapat kabar dari ibu Agnes tentang perkembangan kesehatan ibu Gerith, bahwa mula-mula ia berada dalam koma, tapi kemudian sadar dan kekuatannya berangsur pulih. Saat dalam koma itulah, saya memohon rahmat Tuhan melalui hambaNya ibu Ignazia pendiri RVM. Saya doa spontan dan sederhana, “Ibu Ignazia, saya percaya ibu sudah berbahagia di surga. Ibu dekat dengan Tuhan Yesus, maka mohonlah kesembuhan bagi ibu Gerith yang sedang sakit. Tolonglah, semoga dia sehat kembali.” Sejak saat itu saya mempercayakan ibu Gerith dalam kasih hamba Allah ibu Ignazia. Kekuatan ibu Gerith berangsur-angsur pulih dan akhirnya bisa keluar dari rumah sakit. Saya dengar kabar yang terakhir malah sekarang sudah bisa nyetir mobil sendiri. Tuhan mahabaik. Ia mendengarkan doa kami. Saya percaya, ibu Ignazia pendiri RVM juga telah mendengarkan doa dan harapan saya. Beliau memang orang suci yang berkenan di hadirat Allah.

sumber: http://www.fotocommunity.de
Usai makan siang bersama, kami berpisah. Ibu Gerith dan suaminya kembali ke rumah, sedangkan kami bertiga jalan-jalan ke beberapa tempat tamasya. Mula-mula ke kapela Ortodoks Rusia “Russische Kapelle” dan gedung HOCHZEITSTURM (HOCHZEIT = pernikahan ; TURM = MENARA) di Mathildenhoehe. Kapela ini kecil tapi kaya dengan ornamen, ikon dan mosaik klasik gereja ortodoks Rusia. Di depan ikon kudus Santa Perawan Maria, para penganut ortodoks dengan takzim menghormati seraya berdoa dengan khusuk. Saya juga berhening sejenak di depan ikon Bunda Maria dan berdoa untuk semua orang yang berbuat baik dan mendukung saya dalam hidup saya sebagai imam. Tuhan memberkati semuanya, Bunda Maria melindungi dan mendampingi mereka. Dari situ kami berangkat ke danau, naik perahu sambil menikmati keindahan alam. Tempat rekreasi ini banyak sekali dikunjungi orang, dan memang dikelola dengan baik dan profesional. Saya bayangkan kalau bendungan Tilong di Kupang juga dikelola dengan baik, akan jadi tempat rekreasi yang bagus dan ada pemasukan bagi Pemda, tapi juga membuka lahan usaha ekonomi bagi banyak orang, terutama penduduk setempat. Selesai berperahu, kami menuju lokasi arkeologi, tempat ditemukannya fosil. Di lokasi itu disajikan film animasi yang menjelaskan seluruh proses arkeologi di tempat ini.


Kelompok Filateli: dari Darmstadt ke Eberbach

Bapak Carlheinz dan ibu Agnes memiliki hobi filateli, dan ikut bergabung dalam kelompok filateli di Darmstadt. Kelompok ini setiap tahun mengadakan perjalanan bersama mengunjungi tempat-tempat tertentu. Kali ini mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke Eberbach am Neckar . Sesudah makan siang, kami menuju lokasi bus yang akan mengangkut kami semua. Sekitar satu jam kemudian semua tiba, juga bus raksasa berdaya muat 50 orang. Jumlah kami waktu itu tidak sampai lima puluh. Ibu Agnes yang selalu gesit mencari tempat duduk di depan untuk kami berdua. Sepanjang jalan saya menikmati pemandangan alam yang indah di Jerman. Ibu Agnes pun menjelaskan banyak hal. Satu hal menarik adalah konservasi alam dan penataan lokasi pemukiman yang ramah lingkungan. Ada kesadaran yang tinggi untuk memelihara alam. Tidak terlihat satupun lokasi hutan yang gundul, atau pohon yang ditebang sembarangan, atau lokasi pemukiman yang merusak ekosistem. Semua sungguh teratur dan terawat baik. Saya lalu membayangkan, ah seandainya di Indonesia atau di Timor juga demikan, tentunya tidak akan ada banjir, atau kekeringan dan kelaparan serta masalah lingkungan lainnya. Alam yang dirawat dengan baik akan bersahabat juga dengan manusia. Merawat alam sama dengan memelihara kelangsungan hidup generasi masa depan.

sumber; en.wikipedia.org
Eberbach terletak di tepi sungai Neckar, makanya disebut Eberbach am Neckar . Kota kecil ini dinamakan demikian karena dua hal: Celeng (eber) dan Sungai (bach). Saya tidak mengerti penjelasan pemandu yang berbicara dalam bahasa jerman. Yang jelas, apa yang saya lihat menjelaskan adanya sebuah kultur pelestarian alam dan warisan sejarah. Celeng dilindungi, sehingga selamat dari kepunahan. Ya, kalau di Indonesia , sudah punah sejak lama. Bangunan antik dan peninggalan budaya masa lalu dipelihara dengan baik. Semuanya berkisah tentang perkembangan teknik, kebudayaan dan wawasan hidup ramah lingkungan.

Kami makan malam di restoran. Lalu kembali lewat rute yang berbeda. Sepanjang jalan ibu Agnes mengisahkan pengalaman hidupnya yang sangat menarik. Dari ceritanya saya bisa tahu bahwa ibu ini memiliki hati yang baik, hati yang penuh kasih, wawasan hidup yang positif dan cekatan dalam bertindak. Sewaktu masih di Semarang , walaupun diperlakukan dengan tidak adil orang tertentu yang sirik, dia tetap sabar, tenang dan baik tanpa terdorong untuk balas dendam atau marah. Dalam merawat orang sakit, ia selalu melayani sepenuh hati, penuh cinta kasih, sehingga pasien terbantu dalam proses sembuh secepatnya. Pasien merasakan kasihnya yang menumbuhkan kekuatan melawan penyakit dan akhirnya sembuh. Ringkasnya, melayani dengan hati. Ini kekuatannya. Memang, jika kita mencintai pekerjaan kita dan melaksanakannya dengan hati penuh cinta kasih, semua akan membawa sukacita, tidak saja bagi kita, tapi terutama bagi mereka yang kita layani melalui pekerjaan dan tanggung jawab kita. Pengalaman dan kharakter ibu Agnes ini bagi saya memberi inspirasi tentang pentingnya melayani dengan hati penuh kasih.


Si pelukis

Tak terbayangkan sebelumnya bahwa si bungsu Elisa, adalah pelukis. Dia mewarisi bakat melukis dari kakek buyutnya dari garis keturunan ayah. Si pelukis yang tinggal di pedalaman Prancis ini memilih hidup terpencil sambil melahirkan karya seni. Melihat profilnya di foto, saya membayangkan orangnya tinggi dan besar. Ternyata saya keliru. Ketika dia tiba saya terkejut karena dia pendek dan mungil seperti ibunya. Si pelukis ini datang untuk mengikuti pameran buku tahunan di Darmstadt sekaligus bekerja sebagai pemandu. Ia menguasai bahasa jerman, inggris dan perancis. Maka tentu saja sangat diandalkan untuk menjelaskan buku-buku kepada pengunjung. Ia berbakat melukis dan juga berbahasa asing. Dua kemampuannya ini dikembangkan dan diandalkannya untuk hidup. Saya kira ini sangat menarik dan inspiratif bagi orang muda di Kupang untuk berjuang mengembangkan talenta yang dimiliki, kreatif menciptakan lapangan kerja untuk hidup, dan tanggap melihat peluang yang cocok dengan kemampuan.

Ke Tilburg

Akhirnya tiba juga saat untuk berpisah. Tak terasa hampir seminggu saya berada di Darmstadt. Pagi-pagi sekali saya telah berkemas. Ibu Agnes telah menyiapkan sarapan. Jam 6 kurang seperempat saya diantar ke stasiun. Kereta tiba tepat waktu, dan berangkat juga tepat waktu. Nyaris tak ada terlambat di Jerman, beda dengan Italia yang selalu ada keterlambatan bahkan hingga lebih dari satu jam. Orang Jerman memang terkenal dengan disiplin waktu. Dan itulah salah satu kunci kesuksesan mereka di pelbagai bidang kehidupan. Kereta berangkat jam 06.37. Selamat tinggal ibu Agnes, bapak Carlheinz dan Elisa. Sampai jumpa lagi di tahun depan.

Saya turun di Duesseldorf, lalu berpindah kereta ke Venlo, stasiun di perbatasan Belanda dan Jerman. Di sana dua orang polisi perbatasan telah menunggu mencek orang-orang baru. Mereka memeriksa paspor dan permesso di soggiorno (kartu izin menetap). Mereka tampak tidak yakin dengan soggiorno temporaneo yang saya berikan. Maka mereka telpon ke Italia. Syukurlah, ada jawaban yang meyakinkan. Tapi soggiorno temporaneo itu hanya berlaku sampai 1 Oktober, maka mereka bilang, harus kembali ke Italia sebelum tanggal itu. Saya katakan bahwa memang tanggal 30 September saya akan balik ke Roma. Lalu saya diizinkan masuk. Kereta ke Eindhoven telah menunggu. Saya segera naik. Ah, akhirnya tiba juga di negeri Belanda, bangsa yang menjajah negeriku 350 tahun. Dari Eindhoven saya terus ke Tilburg . Rm. Don Wea dan Mgr. Davenpourt, uskup emeritus Keuskupan Agung Merauke, yang kini pensiun di Tilburg , menjemput saya di stasiun. Terima kasih Tuhan, saya telah tiba dengan selamat di Belanda.
 



Sipri Senda (nnakfatu@yahoo.co.id)
Imam projo, alumnus Univ. Urbaniana Roma. Kini tinggal di Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...