Minggu, 31 Juli 2011

Si Pencari

Sebuah cerpen oleh Sipri Senda (nnakfatu@yahoo.co.id)

Dunia gelap. Tak ada cahaya. Satu-satunya cahaya adalah lilin kecil di kamarku yang sumpek dan bau. Aku sedang duduk membaca Kitab Kejadian 32:23-32 tentang pergulatan Yakub dengan Yahwe dan dia mendapat nama baru: Israel, karena dia telah bergulat dengan Tuhan dan dia menang. Sebuah cerita adalah cerita. Titik. Tapi ia berbicara banyak hal. Seketika banyak hal itu bermunculan di kepalaku yang mulai botak ini. Ah, aku tak dapat menampung semuanya. Gila! Mengapa aku seperti ini? Aku harus keluar. Tapi jam berapa sekarang? Bukankah dunia sekarang gelap?

Kuberjalan ke jendela, tanpa membukanya, kuintip keluar lewat celah kecil. Gelap. Tapi kudengar suara orang ramai di jalanan.

Aku harus ke pasar. Kuambil lilin kecilku dan terhuyung-huyung keluar. Kujaga agar lilinku tetap bernyala. Tak kuperhatikan segala hal di sekitarku. Cuma lilin. Orang-orang terheran-heran melihatku. Kudengar suara-suara memperbincangkan perbuatanku. Katanya aku sudah gila. Masak di siang bolong seperti ini dia membawa lilin bernyala. Astaga, sudah siang bolong? Tapi mengapa gelap? Di mana matahari? Aku tak melihat orang-orang itu. Bukankah ini pasar?

“Hei, saudara-saudara. Di manakah kamu? Aku tidak bisa melihat kalian karena gelap.”
Kudengar mereka tertawa terbahak-bahak. Ada yang meneriakiku gila. Ada yang mengatakan aku sudah buta.

“Diam!” aku membentak. Seketika mereka terdiam. “Aku tidak gila. Kamu yang gila. Aku tidak buta. Kamulah yang buta. Lihat, dalam kegelapan seperti ini, hanya akulah yang membawa cahaya. Terkutuklah kalian bersama kegelapan.” Kembali suara-suara itu mengejekku, menertawakanku. Ada yang berteriak dan bersuit-suit seakan ini satu pertunjukkan spektakuler. Aku semakin marah. “Diam!” sekali lagi aku membentak. “Kalian orang-orang terkutuk! Kurang ajar! Aku tidak gila dan buta. Aku orang waras dan punya mata untuk melihat. Kalian memang bodoh. Akulah yang paling bijaksana di dunia ini. Karena dalam kegelapan aku membawa cahaya.”

“Anda keliru, hai Pembawa Cahaya. Kami berada dalam terang. Lihat, itu matahari di atas langit biru.” Aku mendengar sebuah suara membantah pernyataanku. Aku menengadah ke atas, tapi tak kulihat langit biru. Hanya ada kegelapan.
“Pembohong! Tidak ada langit biru. Tidak ada matahari. Semuanya gelap. Bahkan aku tidak bisa melihatmu. Di manakah kau?”
“Pembawa Cahaya. Aku tidak berbohong, maka aku bukan pembohong. Aku berada di sini, di hadapanmu. Angkatlah lilinmu supaya aku bisa terlihat olehmu.”

“Hahahaha…. Bagus Anak Muda. Kau benar. Akulah pembawa cahaya. Berarti kau memang bukan pembohong. Tapi… lilin ini sudah kuangkat, namun kau tidak terlihat.”
“Aku bukan Anak Muda. Aku juga bukan Anak Tua, bahkan bukan Orang Tua. Jika Anda tetap tidak bisa melihat, berarti Anda buta.”

“Kurang ajar! Apa kaubilang? Aku buta? Tidak! Aku tidak buta. Mataku sanggup melihat dalam kegelapan. Ya, ya, kini aku tahu. Aku telah melihat, bahwa kamu semua ternyata makhluk gelap. Hahahaha… Kalian semua makhluk gelap. Aku tidak mau berbicara dengan kalian semua.”

Dengan terhuyung-huyung aku berjalan ke arah dari mana aku datang. Kembali suara-suara itu menghakimiku dengan aneka komentar dan sumpah serapah yang tidak sopan. Gila! Siapa sesungguhnya yang gila? Mereka yang suka menghina dan menghakimi secara tidak adil itu, ataukah aku yang juga menghakimi mereka secara sepihak? Ah, siapa yang benar? Siapa yang baik? Siapa yang bagus? Bukankah mereka maupun aku sama-sama manusia? Tapi di mana kemanusiaan kami? Dalam kegelapan? Ataukah dalam cahaya lilin yang kubawa ini? Astaga… aneka pertanyaan berkecamuk di kepalaku membuat aku pening. Tapi… di manakah aku sekarang? Bukankah aku hendak kembali ke rumah? Di mana rumahku? Di mana jalan pulang? Astaga… aku telah tersesat, bahkan dengan cahaya lilin di tanganku.

Tak ada orang di sekitarku. Tak kudengar suara apapun. Hanya desau angin sepoi-sepoi. Tapi tetap gelap. Aku berdiri sejenak. Tangan kiriku kupakai membuat corong di mulutku lalu aku berteriak, “Hooooiiiii…. Di manakah manusia?” aku mendengar pantulan suaraku menggema di antara lorong dan tembok-tembok, dan kembali menggaung keras di pohon telingaku. Aku terkejut dan terlompat ke belakang. Gila! Apa yang kucari sekarang ini? Manusia? Bukankah aku manusia? Tapi tidak ada manusia lain. Aku sendirian. Kesepian. Penghakiman yang mereka berikan kepadaku terlampau kejam. Masak aku yang tidak gila ini dikatakan gila dan dibiarkan tersesat di tempat sepi ini. Ah, apa yang harus kubuat sekarang? Apa yang kunantikan sekarang?

Aku di sini. Tapi di sini yang mana, aku tak tahu. Di sini adalah sebuah tempat tanpa nama. Kucoba menghitung hari, tapi aku lupa tanggal berapa sekarang. Kucoba menghitung jam, tapi aku lupa membawa arloji. Kuputuskan untuk duduk sebentar. Duduk sendirian di tengah dunia yang gelap. Sudahlah, sekarang aku di sini, kucoba menanti sesama, siapa tahu ada yang lewat dan melihatku di sini. Entah berapa lama aku duduk di sini, aku tidak tahu. Aku tak bisa menghitung jam. Lagi pula tak seorangpun yang lewat dan menegurku. Aku tetap sendirian, dalam dunia yang gelap. Alangkah kejamnya! Tapi, siapa sebenarnya yang kejam? Aku? Mereka? Atau siapa?
Aku di sini.

Mereka di sana. Antara aku dan mereka, semestinya ada yang lain. Aku ingat, tadi aku membaca dari kitab suciku yang lusuh itu, cerita tentang Yakub yang bergumul dengan Tuhan. Ah, kini aku tahu siapa yang berada di antara aku dan mereka. Dialah Tuhan. Tapi di mana dia sekarang? Apa yang sedang dilakukannya? Apakah dia juga akan lewat di sini, lalu kucegat dia dan kami berkelahi, lalu aku menang, lalu aku diberi nama baru, lalu aku menjadi orang terkenal karena bisa mengalahkan Tuhan, lalu aku dicari orang dari segala penjuru dunia untuk wawancara, lalu aku mendapat banyak uang karena hal itu, lalu aku membeli matahari untuk menerangi dunia, lalu aku mencari sebuah tempat istirahat yang menyenangkan, lalu aku menutup mata untuk terakhir kalinya, lalu aku kembali ke dalam kegelapan.

Ya ampun, betapa ngerinya khayalanku ini… dari kegelapan kembali kepada kegelapan. Ufff, ide yang buruk sekali. Tapi apa yang harus kuperbuat sekarang?

Aku masih duduk di sini. Sendirian, tanpa mereka dan tanpa Tuhan. Kapan Tuhan lewat? Lima menit lagi? Satu jam lagi? Satu hari lagi? Tidak ada kepastian waktu. Lagi pula aku tak punya alat pengukur waktu. Gila! Ternyata memang aku gila. Hahahahahaha…… aneh benar hidupku. Dari mana aku? Hendak ke mana aku?

Aku bangun dan berjalan lagi. Dengan lilin kecil yang kini hampir padam di tanganku. Aku tak tahu ke mana aku melangkah. Kuterus saja berjalan. Hingga tiba di titik batas: lilinku meleleh habis dan padam. Aku berhenti dan seketika kulihat matahari. Kulihat kembali rumahku. Kulihat orang-orang di sekelilingku. Mereka sahabat-sahabatku. Aku tersenyum dan mereka datang padaku.

dalat.org
Lonceng katedral bergema. Hari ini hari Minggu, 31 Desember 2006. Kami bergandengan tangan dan berarak menuju gereja. Itu Tuhan, telah kulihat dia dan aku bergegas mencegat dia untuk bergulat. Dia kelihatan begitu lemah dan rapuh di hadapanku. Kerapuhannya menampakkan totalitas penyerahan diri buatku. Aneh, tiba-tiba aku menyadari, Tuhan memberikan dirinya bagiku. Ini sebuah hadiah. Dia kalah.

Kekalahannya adalah membiarkan dirinya masuk dalam diriku, menyatu denganku. Dari relung jiwaku, dia berkata padaku: Kau menang, namamu sekarang adalah Pencari.

***

Roma, 3 Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...