untuk MuDAers NTT Menulis
Salah satu kenikmatan hidup menurut saya adalah saat membangun sebuah rumah bernama pertemanan. Kata orang nyari teman atau lebih lagi sahabat susah, lebih susah ketimbang nyanri musuh. Menurut sebagian orang lainnya, membangun sebuah pertemanan dan persahabatan penting untuk saat sekarang. Link, mereka menyebutnya, bahwasannya dengan adanya teman/sahabat sangat manjur untuk mewujudkan mimpi dan misi kita. Jika demikian, maka tak sia-sia para ahli sosiologi berteori, benar adanya kita lahir sebagai manusia yang gak bisa hidup sendiri, ada dan berkembang karena campur tangan orang lain.
Empat tahun lalu, saya dikejutkan dengan salah satu ayat dalam kitab Amsal, yang disampaikan seorang teman baik saya, yang kebetulan juga isinya tentang pertemanan. Oh, Tuhaaan, betapa indahnya isi ayat tersebut. Amsal 17:17, seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesukaran. Perpaduan angka yang spesial kan? Tentang hal ini, kemudian menjadi ayat pamungkas saya (saya bahkan lebih rajin membaca ayat-ayat Amsal dan Mazmur. Sangat puitik dan ‘sastra banget deh’ he he he).
Membaca kalimat ini, saya langsung teringat keyakinan beberapa teman saya, teman itu banyak dan gampang ditemui, tapi sedikit yang bisa menjadi sahabat. Sahabat disini, menurut mereka berada ditingkat yang lebih tinggi daripada teman. Kadang ada benarnya juga. Beberapa teman saya yang lain bahkan lebih suka menyebutnya teman, meski dekatnya sudah jauh lebih dari itu dan pantasnya disebut sahabat sejati. Lagi-lagi ini soal selera dan istilah saja. semua orang berhak membuat definisi masing-masing terkait sahabat dan teman. Intinya semua itu baik adanya.
Tentang sahabat atau teman, saya mungkin salah satu orang yang tipenya agak sensitif. Maksudnya peka sekali untuk bisa langsung terbuka, oh ini dia calon teman baik saya atau gak biasa saja, cukup kenal saja. kadang pikir saya, sedikit teman atau sahabat tapi berkualitas daripada kuantitasnya doang dan kosong. Lagi-lagi saya tipe orang yang menyukai kualitas. Yah, kualitas, sensivitas, emosional. Mungkin juga karena ilmu yang lima tahun belakangan ini saya pelajari turut mengasah hal-hal tersebut.
Sering saya dikunjungi teman-teman dekat saya dari luar kota, entah dari Surabaya, Jakarta, NTT, Bandung, dsb, bahkan ketika baru saja bertemu di stasiun, terminal atau bandara ketika saya menjemput, rasanya pada detik yang sama yang terpikirkan adalah ‘sebuah perpisahan akan sama rasanya seperti ini, dalam waktu dekat. Dekat sekali…’. Saya bahkan cenderung sudah merasakan suasana ‘emosionalnya perpisahan’ ketika ‘awal pertemuan’ baru saja dimulai. Dan itu hanya terjadi pada teman terdekat, sahabat dan keluarga saya. Kadang lucu juga. Tapi itulah rasanya. Mungkin dalam sikon tertentu, perasaan ingin memiliki, melindungi dan menjaga sesuatu itu tinggi sekali. Sindrome bandara? hahaha
Dan ketika hal ini diketahui teman-teman kursus saya, sontak mereka akan langsung berteriak: Sendaaa meloooooowww….hahahahhaha
Terpikir untuk menulis ini ketika sedang menikmati sebuah percengkramaan hangat di rumah Rizky salah satu teman di General English Course PPB UGM bareng teman-teman lainnya. Jadi ingat komentar seorang teman lainnya tentang rancangan pertemanan kami yang baru akrab bahkan ketika diakhir-akhir pertemuan level 2 (karena banyak jg yang gak melanjutkan di level 3). Sehingga terasa skali kesannya ‘baru akrab eh sudah akan berpisah lagi, begitu kata mereka…. Bagi saya ini bukan akhir, tapi awal. Karena sejak awal saja kita sudah berasa banget ‘akan berpisah, akan merasa kehilangan, bla bla…Padahal yah kita masih sekota kan? Masih akan ada banyak pertemuan-pertemuan kedepannya kan? He he he. Itulah manusia. Ini seperti sebuah hipotesis sederhana saya. belum jelas kebenarannya. Ternyata bukan saja saya yang merasakan efek ‘sindrom bandara’ tadi. So, mari kita mengusahakan agar kekhawatiran kita yang mengira semuanya akan berakhir, diganti menjadi semangat optimis bahwa hal tersebut merupakan awal yang baru, yang baik, yang akan panjang jalannya. Ada teman sepanjang jalan. Bukan musuh.
Salam sindrom bandara. Sindrom terminal. Sindrom staisun.(christian dicky senda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...