Senin, 11 April 2011

SIGNOR ROSSI (sebuah cerpen)

oleh: Sipri Senda

 Lelaki itu berdiri di simpang waktu. Ia hidup dalam bayang-bayang masa lalu tapi dengan pandangan jauh ke depan. Selalu diputarnya kembali aneka memori untuk menanggapi aneka kenyataan zaman kini yang amat berbeda dengan pengalamannya di masa lalu sambil mengingatkan semua orang akan tanggung jawab di masa depan. Ia memutar jarum jam ke masa silam, seraya mengarahkan hidup ke masa depan, dalam kekinian yang sumpek dan amburadul. Ia menukas tuntas kebobrokan pengelolaan kesejahteraan publik. Ia mengeritik aneka bentuk penindasan terselubung dalam kebijakan-kebijakan publik penuh lubang-lubang bagi para pencuri berdasi.
Ia bicara dan terus bicara, tapi suaranya hilang ditelan gemuruh gempita propaganda pemerintah kota. Ia cuma seorang lelaki tanpa apa-apa. Lelaki tanpa nama dan kuasa.
Di simpang waktu ia menumpahkan kegelisahannya pada dunia yang tak lagi akrab padanya. Tak ada yang mendengarkannya. Keluh kesah dan sumpah serapahnya hilang terbawa angin dan tak pernah kembali dengan hasil apapun. Justeru yang didapatnya adalah aneka predikat seram yang tak diharapkannya. Ia dijuluki Lelaki Kedaluwarsa, Lelaki Gila, Si Pengigau, Si Tukang Rewel dan sebagainya. Ia bungkam. Lalu meniti hari-hari sunyi dalam diam yang panjang…..
Suatu hari, usai lama berlalu dalam diam, ia muncul lagi di monumen kota. Semua penduduk kota memandangnya seraya bertanya, apa lagi yang akan diperbuat si Gila ini. Kali ini ia memilih kata dalam simbol. Dibiarkannya mereka berbicara, sedangkan dia, tanpa kata, berbicara dalam tindakan simbolik sarat makna. Mula-mula monumen untuk mengenang para pahlawan itu dikencinginya. Lalu diambilnya sehelai kain merah dan dililitkannya di puncak monumen itu. Seketika ramai orang bergunjing. Bahkan ada yang berteriak menanyakan apa maksud tindakannya. Tetapi lelaki itu tidak menanggapinya. Dia berdiri di bawah monumen itu, memandang hasil karyanya, menoleh ke arah laut dan menatap matahari yang menggelincir ke ufuk barat. Ia duduk bersila dan diam merenung. Tak lama kemudian terdengar sirene mobil patroli polisi kota.  Orang-orang menyingkir memberi tempat bagi polisi yang datang bersenjata lengkap. Tanpa banyak bicara lelaki itu digelandang ke dalam mobil patroli dan dibawa entah ke mana. Orang-orang menarik nafas lega seolah sebuah beban berat telah terangkat dari pundak mereka. Entah akan diapakan orang itu, itu bukan urusan mereka. Yang penting dia tak ada lagi, dan tidak mengganggu ketenteraman mereka. Lelaki itu memang tak ada lagi di sini, tapi tanda matanya berupa kain merah dan bau pesing kencingnya di monumen kota masih membekas menyimpan pesan yang hendak dikemukakannya. Tapi siapa bisa menerka bahasa simbol lelaki sinting itu? Apa maksudnya melakukan hal itu? Ufff, jangan-jangan sebuah provokasi untuk mengacaukan keadaan. Kecemasan melanda semua orang, tapi tak ada yang bisa menjelaskan mengapa mereka cemas. Waktu berlalu, bersama kecemasan yang menggumpal di dalam jiwa. Akankah terjadi sesuatu nanti? Namun walikota mengatakan, semua aman terkendali. Sesudah berkata demikian ia mengunci diri dalam petualangan tersembunyinya. Setidak-tidaknya si lelaki sinting itu telah diamankan di ruang pengap. Tak ada lagi suara yang menggonggong semua kebijakannya.
*  *  *
Hari demi hari berlalu. Tidak terjadi apa-apa. Hingga suatu hari di musim panas, di bawah matahari yang membakar ubun-ubun. Suhu kecemasan meninggi. Menggejolak di ujung keputusasaan yang kandas pada lubuk derita sosial berkepanjangan tanpa ada perubahan sekedar kemudahan mendapat seketul roti penyambung hidup. Semua berkumpul di monumen kota, memandang kain merah itu dengan rasa putus asa yang menggumpal. Apa yang akan terjadi sekarang? Ribuan kepala dengan ribuan pikiran kacau balau dipercik api ketakutan yang parah, melahirkan gelombang penolakan terhadap kematian dan bencana, justeru dengan bentuk-bentuk kekuatan yang mematikan. Dalam sekejap, massa yang liar itu menumbangkan monumen kota dan saling membunuh satu sama lain. Polisi kota yang datang hendak menertibkan keadaan pun dibabat. Tiba-tiba kekuatan massa yang liar itu mendapatkan sebuah kambing hitam untuk dimangsa.
Usai memangsa polisi kota, massa liar itu bergerak ke alun-alun kota, ke gedung pemerintah kota. “Mana si walikota? Mana si biang kerok kesusahan rakyat? Bunuh dia!” Teriakan itu disambut dengan pekik massa haus darah. “Bunuh dia! Bunuh dia si lintah darat! Hancurkan belenggu pajak yang menjerat leher kita!” Yang lain menyambut pekikan itu dengan teriakan umpatan dan sumpah serapah yang teramat keji. Dalam waktu singkat, amukan massa menghancurkan gedung pemerintah kota. Semua pegawai berlarian menyelamatkan diri. Massa beringas itu segera menuju ruang walikota, sambil merusakkan segala sesuatu yang ada. Walikota berusaha menyelinap dan lari menyelamatkan diri, namun massa yang mengenalinya segera mengepung dia. Ia tidak bisa bergerak. Aneka seruan dakwaan mengguncang langit. Keringat dingin mengalir deras membasahi sekujur tubuhnya. Kini tiba saatnya untuk mati secara tragis. Ufff! Kematian yang tidak terhormat untuk seorang walikota seperti ini. Tidak, aku tak mau mati seperti ini. Ia berteriak, “Tidaaaaak! Aku tak mau mati! Aku ingin hidup seribu tahun lagi….” Ia merasa tangan-tangan teracung itu kini akan mengirimnya ke dunia kekelaman. Jeritan ketakutannya menghujam langit. Ia meloncat setinggi-tingginya………………. Aaaaaaaakkkkkhhhh…….
* * *
“Hei, ada apa, Sayang? Mengapa kau tidur di lantai? Ya ampuuun, mukamu pucat sekali. Kau mimpi buruk ya?” Suara lembut wanita mengembalikan sang walikota ke dunia nyata.
“Hhhhh… Gila!”
“Siapa yang gila?”  tanya wanita itu.
“Signor Rossi,” jawabnya singkat. Matanya nanar memandang langit-langit kamar. “Ini bukan kamarku. Di mana aku?”
“Siapa itu Signor Rossi?” kejar wanita itu penasaran.
“Kau tidak mengenalnya. Dia lelaki gila dengan kain merah dan kencingnya yang bau.”
“Kain merah dan kencing bau? Apa maksudmu?”
“Ah, bukan urusanmu. Aku pergi sekarang.”
Dia tahu apa yang akan diperbuatnya sekarang. “Hmm….. Signor Rossi…. Lelaki gila yang berbahaya.”
Ia menutup hari itu dengan tangan berlumur darah. Darah seorang lelaki bernama Signor Rossi.
“Kini tiada si lalat pengganggu itu. Mimpi burukku telah berakhir,” dengan senyum puas ia melangkah ke tempat yang disebutnya ini bukan kamarku.***

Roma, Februari 2007*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...