Selasa, 15 Maret 2011

Merayakan Budaya Makan di Italia (Seri: Menariknya Nonton Sinema Eropa)

untuk Gerakan Mudaers NTT Menulis


Saya baru saja menonton sebuah film berbahasa Italia,  Io Sono L'amore atau 'I am Love' yang dibintangi aktris Tilda Swinton. Awalnya ini film yang direferensikan oleh mas pemilik rental yang menjadi tempat langganan saya menyewa film. Saat itu yang menjadi ketertarikan saya adalah bahwa film ini unik, dengan sudut pandang menarik tentang budaya makan orang Italia. Belakangan ini saya memang sedang suka sekali dengan film-film Eropa, dibuat di Eropa dengan cerita dan setting Eropa. Misalnya, sinema Spanyol dengan keunikannya sendiri, sinema Perancis, Jerman, Inggris atau pun Italia. Sinema Eropa punya kelebihan tersendiri yang menarik ketimbang sinema-sinema Hollywood. Misalnya terkait budaya-budaya ‘latin’ di sinema Spanyol yang kebetulan saya sukai. Misalnya Vicky Christina Barcelona, Volver, Inside The Sea, Todo Sobre Mi Madre, dsb. Dari segi cerita pun film-film Eropa jauh lebih beragam, bercitarasa seni tinggi, banyak menampilkan sisi psikologis tokoh dan tentunya diulas mendalam. Misalnya, dunia mafioso Itali di trilogi the Godfather hingga yang terakhir kemarin, the American, tentang dunia assassin tp digambarkan dengan begitu sunyi dan menitik beratkan pada suasana psikologis si pembunuh bayaran gak semata dar der dor senjata canggih. Apalagi the American menyuguhkan lansekap pinggiran kota di Italia yang asri dan damai. Wah. Bagi saya kalau mau nonton film-film dengan taste seni yang tinggi, nontonlah film Eropa! Lihat saja gaya berpakaian orang-rang Italia atau Perancis. Rapi dan elegan. Tentu karena ada alasan Milan dan Paris sebagai jantungnya mode dunia.

Kembali ke film Italia. Entah kenapa yang saya tangkap dari banyak film berseting Italia, makanan dan perilaku makan menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat. Maksud saya hanya film Italia yang membuat saya begitu menikmati cara mereka menggambarkan seputar makan dan makanan. Lihat saja episode ‘Italia’ di Eat Pray Love (EPL). Bukan saja keramahan orang Italia, respek mereka ke orang, budaya makan bersama atau meracik makanan itu sendiri. Sangat detail dan menarik digambarkan disana. Itulah kenapa penulis buku Eat Pray Love langsung mengasosiasikan Italia dengan Makan dan mungkin pula kenapa kakak saya yang 3 tahun menetap di Roma nampak begitu gemuk he he he. Meski sebenarnya bukan saja jamuan makan bersama menjadi kebiasaan yang menarik tetapi bagaimana lansia-lansia disana kok nampak sehat dan panjang umur yah? Atau asosiasi kita dengan keromantisan, keramahan dan respek mereka yang begitu dalam antar satu sama lain. Apa ini mungkin hanya hasil penilaian subjektif dari seorang yang kebetulan juga tidak secara langsung pernah berkunjung ke Italia. Selain EPL, ada The American, Letters From Juliet, The Tourist, dsb berhasil menarik mata saya bahwa hanya di Italia, duduk dibawah sinar matahari di halaman café yang langsung berhadapan dengan padestrian bersih sambil minum kopi atau menyantap kuliner Italia adalah sebuah keharusan yang nikmat.

Tapi lebih mendalam lagi semua itu digambarkan di film  Io Sono l'amore (disutradarai Luca Guadanigno). Berkisah tentang sebuah keluarga kaya di Italia yang sejatinya kurang harmonis. Tapi kebiasaan uniknya, mereka selalu membuat jamuan makan bersama entah dengan kakek nenek, dengan kolega bisnis, dengan teman kerja anak mereka, dsb. Pokoknya meski ada yang kurang harmonis sebenarnya, tapi seolah tertutupi dengan seringnya mengadakan jamuan makan malam di rumah mereka. Pada saat-saat inilah sang nyonya rumah (diperankan dengan baik oleh Tilda Swinton) menjadi seorang yang sibuk memikirkan menu makanan, tata letak meja makan di indoor atau pesta kebun, peralatan makan,.dsb. Uniknya persiapan jamuan makan ini menjadi fokus cerita selain problem keluarga mereka sendiri. Saya akhirnya baru menangkap bahwa merayakan jamuan makan bersama bagi orang Italia adalah suatu keharusan dan kehormatan tersendiri. Memperlakukan tamu dengan baik di meja makan mungkin adalah sebuah nilai luhur yg penting. Dan yang bikin goyang lidah ini adalah kreatifnya si sutradara menyoroti kesibukan para koki di dapur. Soal taste, mereka mungkin juaranya. Disini saya melihat makanan bukan saja soal rasa tapi juga soal cara mengemasnya di atas piring. Sangat berseni tinggi. Menariknya di ending film, si nyonya rumah selingkuh dengan si koki.

Begitulah cara saya menikmati film. Orang Eropa dengan tingkat peradaban yang tinggi yang tercermin dr gaya hidup mereka, lansekap alamnya terutama yang berada di pinggiran kota atau tata kota yang modern tapi gak menghilangkan unsur kunonya lewat gedung-gedung tua yang terawat. Yang semuanya kembali lagi mencerminkan tingkat kebudayaan dan peradaban mereka sendiri. Mereka cenderung lebih humanis. Banyak hal tentunya yang bisa dipelajari. Termasuk bagi saya yang bisa sekalian melatih bahasa Inggris lewat subtitel dan suara pemainnya (terutama film2 beraksen Inggris tulen he he). Menarik memang. Meski baru mengenal via film, berharap nanti bisa kesampaian ke Eropa! amiiiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...