Sebuah cerita pendek
untuk MUDAers NTT Menulis
Aku sedang berada dalam situasi dan tempat yang sama dengan kejadian sebulan lalu. Ada beberapa hal spesial yang kemudian mendorongku untuk ikut larut di dalamnya. Aku hanyalah aku yang sangat perasa belakangan ini. Entah karena aku memang sengaja mengasingkan diri dari berbagai rutinitas lamaku dan beralih pada sebuah proyek pribadi yang menurut seorang teman curhatku sebagai sebuah proyek ‘sangat idealis’. Demi mewujud-nyatakan mimpiku. Alasan yang terlalu menggantung tapi sudahlah mungkin bukan itu pula alasannya. Mungkin juga dengan banyak ‘merasa’ akan banyak andil dalam proyek kreatifku dalam menulis.
Seperti halnya ketika aku lantas menjalani sebuah peran ‘payah’ ini secara sukarela. Aku menggambarkan diriku sebagai sebuah pohon ever-green dalam ruang café yang benderang sambil terus merasa bahwa aku adalah tamu spesial sore ini. Atau bolehlah aku menjadi semilir angin saja sehingga orang-orang bebas menjadi diri mereka sendiri tanpa harus merubah kemanusiaan mereka karena ada manusia lain di dekat mereka. Manusia yang sukanya memelototin sikap-sikap orang di sebuah foud-court yang baunya sudah pasti bikin lapar. Di luar sedang hujan.
Tapi bahwa detik ini mataku pun sedang lapar, sudah sewajarnya, karena aku menyukai aktivitas tersebut. Di kursi rotan yang alasnya bak sofa empuk aku menaruh segala energi untuk mengamati juga bersiap untuk makan. Sore ini untuk kedua kalinya aku adalah sedut yang sepi dengan cermin-cermin besar di dindingnya. Untuk sebagian cermin jarak pandang terdekat dari mataku adalah tubuhku sendiri sebagai pusatnya. Kau sungguh narsis, begitu suara dari dalam hati ini bergumam. Cermin besar yang jaraknya satu meter di depanku mampu menjangkau setengah food court dengan segala keriuhan makannya, sisanya bisa terlihat jika aku sedikit menggeser sudut mata kiriku tiga puluh derajat. Meski sebenarnya, disisi lain, aku bahkan lebih mampu menangkap citraku dari jarak paling dekat antara pelipis kiriku dengan cermin besar itu. Menangkap pupil yang menguntai sekian deret mimpi-mimpi.
Aku melihat sikap makan mereka, obrolan, diam atau tawa mereka tanpa tau isi pembicaraan mereka. Maaf saja karena bisa jadi aku akan terlalu banyak menggunakan kalimat dugaan. Segumpal kemungkinan yang sah-sah saja untuk diutarakan. Tak ada lagi gadis mungil yang mulutnya belepotan es krim coklat. Tak ada lagi sosok ayah yang sabar di sisinya. Tapi remaja-remaja kasmaran selalu hilir mudik dengan kaku. Di ujung barat, seorang pria muda yang lengannya bertato sedang asyik bercerita dengan empat orang temannya. Sebuah kamera DSLR menggantung di lehernya. Sejenis kelompok anak muda kreatif. Mungkin. Sejurus kemudian, aku kembali ke cermin, dan berusaha fokus pada mataku: bahwasannya aku ingin berbicara dengan hatiku…
Kubuks ransel hitamku dan mengambil sesuatu yang baru saja aku beli dari sebuah toko buku. Seorang wanita malang yang wajahnya retak. Veronika namanya, memutuskan untuk mati, begitu Paolo Coelho mengisahkan. Aku menengadah lagi, sedikit memutar kepalaku dan memastikan kedua bola mataku sudah nampak jelas sekali di cermin yang kini jaraknya mungkin hanya sepuluh sentimeter dari hidungku. Veronika ingin mati saja karena merasa nilai hidupnya tergolong ‘tak normal’ dari kebanyakan nilai umum di masyarakat. Apakah sesuatu dianggap normal melulu karena diikuti oleh yang mayoritas? Lantas, kau ingin mati juga?
Oh, tentu tidak. Aku ingin menguntai mimpi. Aku ingin mengamati. Aku ingin makan…aku mengatakan itu pada cermin.
Pizza pesananku akhirnya datang disaat isi minuman berkarbonasi merah itu sudah mendekati pantat botol. Hawaiian Mayo dengan sosis sapi, ayam giling, jagung, jamur, paprika hijau, nanas dan bawang. Paduan favoritku. Sambil melahap potongan pizza, kubuka lagi buku Coelho dan sampailah pada sebuah halaman yang dikutip langsung dari kitab Lukas 10:19. Aku memikirkan ayat itu. Ahh, jikapun aku celaka, toh bukan karena aku tak kuasa menginjak ular tapi lebih kepada menjadikan ular kian beludak di sisiku. Aku hanya mengabaikan kekuatanNya. Tanggal 10 November 1997, Veronika memutuskan bunuh diri! Awal yang tragis.
Aku melirik lagi ke sisi kiriku, untuk menjangkau bola mataku. Seperti serabut merah yang menjalar melingkari pupil. Sebenarnya, aku ngapain sih? Aku mengamati diriku sendiri. T-Shirt putih hadiah dari sebuah lomba menulis blog nampak keren saat kupakai. Itukah kau?
Kadang, aku merasa aku adalah pelamun yang payah. Terbayang kamar yang penuh dengan banyak hal yang selalu memacu inspirasi-kreativitas-imajinasi! Setumpuk sketsa lusuh, poster-poster surealis atau buku-buku kuno yang seolah tak habis dilahap.
Empat potong Hawaiian Mayo ludes! Kadang terselip didalamnya kepuasan beserta secul mimpi, aku mungkin sedang menikmati pizza di sudut Milan atau Roma!
![]() |
MirorMen from flickr.com |
Dan banyak lagi impian yang akhirnya nyampah di laptopku. Marcha malangku yang tak sanggup lagi menebak mana warna hitam, mana yang hijau. Kadang juga, mimpi atau keisengan menulis diawali secari struk belanja dengan bantuan sebuah bolpen.
Aku terus mengamati orang lain dan diriku sendiri, memikirkan banyak hal dan menulis yang kusukai. Termasuk juga menulis beberapa paragraf absurd ini. Bahwa sebenarnya ide datangnya dari lingkungan, dari alam, dari binatang, dari sesama manusia. Semesta menyediakan banyak hal untuk dirasa, dilihat, dimaknai. Begitupula yang terjadi dengan diriku di sudut sini. Toh kalaupun aku lupa membawa laptop, ide dadakan bisa kutulis di carikan kertas manapun atau di handphone. Aku lantas menemukan formulanya: ide bisa dari mana saja, maka nyatakanlah semuanya. Meski yang sering kulakukan hanya sebatas menulis dan menulis diselingi lamunan. Kata orang, dimana hatimu, dirimu, pikiranmu, tubuhmu berada, disitu hartamu berada! Mari merasa….
(Jogja 29 Maret 2011)
hebat
BalasHapus